Minggu, 19 Juli 2009

Laporan Praktikum Geologi Struktur

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Geologi struktur adalah studi mengenai distribusi tiga dimensi tubuh batuan dan permukaannya yang datar ataupun terlipat, beserta susunan internalnya.

Geologi struktur mencakup bentuk permukaan yang juga dibahas pada studi geomorfologi, metamorfisme dan geologi rekayasa. Dengan mempelajari struktur tiga dimensi batuan dan daerah, dapat dibuat kesimpulan mengenai sejarah tektonik, lingkungan geologi pada masa lampau dan kejadian deformasinya. Hal ini dapat dipadukan pada waktu dengan menggunakan kontrol stratigrafi maupun geokronologi, untuk menentukan waktu pembentukan struktur tersebut.

Secara lebih formal dinyatakan sebagai cabang geologi yang berhubungan dengan proses geologi dimana suatu gaya telah menyebabkan transformasi bentuk, susunan, atau struktur internal batuan kedalam bentuk, susunan, atau susunan intenal yang lain.
Untuk memahami struktur geologi yang ada dan bagaimana proses terjadinya maka sangatlah perlu diadakan pengamatan secara langsung. Hal ini akan memudahkan dalam pemahaman serta dapat mengetahui secara langsung struktur geologi yang ada.

1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari pelaksanaan kegiatan Praktikum Geologi Struktur Program Studi Geologi Pertambangan (Diploma III) Fakultas Teknik, Universitas Kutai Kartanegara, ini, meliputi :
• Melatih mahasiawa dalam mengenali struktu-struktur yang ada.
• Untuk melatih dalam menganalisa persoalan - persoalan geologi struktur dengan melihat bentuk rill dilapangan.
• Untuk mahasiswa, / mahasiwi terampil dan mahir dalam, menggunakan peralatan geologi dilapangan.
Adapun tujuan diadakan praktikum ini, yaitu
• Agar melihat secara, langsung bentuk kekar dan lipatan yang rill dilapangan.
• Untuk mengetahui arah penyebaran, stretigrafi, formasi, geometri unsur struktur, struktur garis, struktur bidang, kedalaman dan ketebalan batuan.
• Untuk menganalisa, kekar dan lipatan yang menggunakan mitode Roset (kipas), histrogram dan lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Geometri Unsur Struktur
Unsur-unsur struktur secara geometris pada dasarnya hanya terdiri dari dua unsur geometris yaitu :
1) Geometris Bidang/ Struktur Bidang
- Bidang perlapisan
- Kekar
- Sesar
- Foliasi
- Sumbu lipatan, dll.
2) Geometris Garis/ Struktur Garis
- Gores-garis
- Perpotongan dua bidang
- Liniasi, d1l.

Pemecahan masalah-masalah yang berhubungan dengan geometri struktur bidang dan struktur garis seperti :
• Masalah besaran arah dan sudut, jarak dan panjang dari struktur bidang dan struktur garis, misalnya ; menentukan panjang dari segmen garis, sudut antara dua garis, sudut antara dua bidang, sudut antara gars dan bidang, jarak titik terhadap bidang, jarak titik terhadap garis.

Kelemahan dari metode ini adalah ketelitiannya sangat tergantung pada faktor-faktor :
• Skala penggambaran, ketelitian alas gambar dan tingkat keterampilan sipengambar.Namun dibandingkan dengan metode-metode proyeksi yang lain (proyeksi perspektif dan proyeksi seterografi), metode ini lebih cepat untuk memecakan masalah struktur bidang dan struktur garis, karena secara langsung berhubungan dengan kenampakan tiga dimensi, sehingga mullah dipahami.
Didalam metode grafis ini, struktur bidang dan struktur garis digambarkan pada bidang proyeksi (bidang horisontal dan vertikal) dengan cara menarik garis¬-garis proyeksi yang tegak lurus terhadap bidang proyeksi dan saling sejajar satu sama lain.
Definisi istilah-istilah dalam proyeksi orothogmfi
- Image Plane (IP) adalah bidang yang tegak lurus garis pandang, terletak antara mata si pengamat dengan objek yang akan digambar.
- Line Of Sight (LS) adalah suatu garis yang berasal dari mata si pengamat sampai kesuatu titik tertentu dalam obyek, dan sifatnya saling sejajar.
- Horizontal Plane (HP) adalah bidang khayal yang kedudukannya horisontal dan merupakan tempat kedudukan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama Garis proyeksi dari suatu titik sifatnya akan vertikal dan tegak lurus terhadap bidang ini.
- Front Plane (FP) adalah bidang khayal yang kedudukannya vertikal dan tegak lurus terhadap bidang horisontal. Garis proyeksi yang ditarik dari suatu titik sifatnya horisontal dan tegak lurus terhadap bidang ini.
- Profile Plane (PP) adalah bidang khayal yang kedudukannya vertikal dan tegak lurus terhadap "Horizontal Plane" (HP) dan "Front Plane" (FP). Garis vertikal yang ditarik dari suatu titik, sifatnya horisontal dan tegak lurus terhadap bidang ini.
- Folding Line (FL) adalah garis khayal yang merupakan perpotongan dua bidang proyeksi. Garis ini berfungsi sebagai sumber putar bidang proyeksi vertikal sehingga kedudukannya menjadi horisontal. Prinsip ini merupakan salah satu dasar dari proyeksi orthografi yang merubah gambaran tiga dimensi menjadi dua dimensi.


2.2 Struktur Bidang
Struktur bidang dalam geologi, struktur dapat dibedakan menjadi "Struktur Bidang Rill " dan "Struktur Bidang Semu ".
1. Struktur bidang riil artinya bentuk dan kedudukan dapat diamati secara langsung dilapangan, antara lain adalah
• Bidang perlapisan.
• Bidang ketidakselarasan.
• Bidang sesar.
• Foliasi.
• Bidang sayap lipatan. Bidang yang disebut terakhir ini sebenarnya merupakan kedudukan bidang yang terlipat.
2. Struktur bidang semu artinya bentuk dan kedudukannya hanya bisa diketahui atau didapatkan dari hasil analisa struktur bidang riil yang lain, contohnya adalah :
• Bidang poros lipatan.
Dikaitkan dengan penggolongan struktur menurut waktu pembentukannya, maka dibedakan menjadi struktur bidang primer dan struktur bidang sekunder. Bidang-bidang yang termasuk dalam struktur bidang primer adalah bidang perlapisan, bidang foliasi bidang rekah kerut ( Mud Crack ), bidang kekar kolom ( Colomnar Joint ) pada batuan beku, dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam struktur bidang sekunder adalah bidang kekar, bidang sesar, bidang sayap lipatan.
Pada umumnya struktur bidang dinyatakan istilah-istilah, yaitu
1) Jurus ( Strike)
2) Kemiringan (Dip).

2.2.1 Definisi Istilah-istilah Struktur Bidang.
a. Jurus (Strike) adalah Arah dan gars horizontal yang merupakan perpotongan antara bidang yang bersangkutan dengan bidang horizontal.
b. Kemiringan (Dip) adalah Sudut kemiringan terbesar yang dibentuk oleh bidang miring dengan bidang horizontal dan diukur tegak lurus terhadap jurus.
c. Kemiringan Semu (Apparent Dip) adalah Arah tegak lurus jurus sesuai dengan arah miringnya bidang yang bersangkutan dan diukur dan arah utara.

















Keterangan :
A – L : Struktur garis pada bidang ABCD
A – K : Arah Penunjaman (Trend)
A-K / K-A : Arah Kelurusan (Bearing) = Azimuth NAK
β : Penunjaman (Plunge)
т : Rake (Pitch)


Gambar 2.1. Proyeksi Bearing dan Plunge

2.2.2 Cara Penulisan ( Notasi ) dan Simbol Struktur Bidang
Untuk menyatakan kedudukan suatu struktur bidang secara tertulis agar dengan mudah dan cepat dipahami, dibutuhkan suatu cara penulisan dan simbol pada pets geologi.
Penulisan ( Notasi ) struktur bidang dinyatakan dengan :
- Jurus / Kemiringan
- Besar Kemiringan, arah kemiringan

a. Jurus / Kemiringan
• Sistem Azimuth, hanya mengenal satu tulisan yaitu N X°E/Y°, Besarnya X° antara 0° – 360° dan besarnya Y° antara 0° – 90°.
• Sistem Kwadran , penulisan tergantung kepada posisi kwadran yang diinginkan sehingga mempunyai beberapa cara penulisan, misalnya:
- Sistem Azimuth, N 145° E/30°, maka menurut sistem kwadrannya adalah : N 35° W/30° SW atau S 35° E/30° SW.
- Sistem Azimuth , N 90° E/45°, maka menurut sistem kwadrannya adalah : N 90° E/45° S atau N 90° W/45° S atau N 90° E/45° S atau S 90° W/45° S.

b. Besar Kemiringan, Arah Kemiringan (Dip,Dip Direction)
Misalnya : Sistem azimuth N 145°E/30°, maka penulisan berdasarkan sistem "Dip, Dip deriction ", adalah : 30°, N 235°E.
Penggambaran Simbol Struktur Bidang :
1. Garis jurus hasil pengukuran diplot dengan tepat sesuai arah pembacaan kompas di titik lokasi dimana struktur bidang tersebut diukur.
2. Tanda arah kemiringan digambarkan pada tengah-tengah den tegak lurus garis jurus searah jarum jam atau harga jurus ditambah 90° searah jarum jam. Panjang tanda kemiringan ini kurang lebih sepertiga panjang garis jurus.
3. Tulis besar kemiringan pada ujung tanda kemiringan.

2.2.3 Cara Mengukur Struktur Bidang dengan Kompas Geologi.
1) Pengukuran Jurus
Bagian sisi kompas (sisi "E") ditempelkan pada bidang yang diukur. Kedudukankompas dihorisontalkan, ditunjukkan oleh posisi level dari nivo "Mata Sapi" ( Bull's Eye Level ), maka hargayang ditunjuk oleh jarum utara kompas adalah harga jurus bidang yang diukur. Benlah tanda garis pada bidang tersebut sesuai dengan arah jurusnya.
2) Pengukuran Kemiringan.
Kompas pada posisi tegaktempelkan sisi 'W' kompas pada bidang yang diukur dengan posisi yang tegak lurus jurus pada garis jurus yang telah dibuat pada butir (1). Kemudian Dinometer dieter sehingga gelembung udaranya tepat berada ditengah (Posisi Level). Harga yang ditunjukkan oleh penunjuk pada skala klinometer adalah besarnya sudut kemiringan dari bidang yang diukur.
3) Pengukuran Arah Kemiringan.
Tempelkan sisi "S" kompas pada bidang yang diukur. Posisikan kompas, sehingga. horizontal (nivo "mata lembu" level), baca angka yang ditunjuk oleh jarum utara kompas. Harga ini merupakan arah kemiringan (dip direction) dari bidang yang diukur.

2.2.4 Aplikasi Metode Grafis I untuk Struktur Bidang
Aplikasi yang diuraikan disini meliputi pemecahan masalah-masalah struktur bidang, antara lain :
1. Menentukan kemiringan semu.
2. Menentukan kedudukan bidang dari dua kemiringan semu pada ketinggian yang sama.
3. Menentukan kedudukan bidang dari dua kemiringan semu pada ketinggian yang berbeda.
4. Menentukan Kedudukan Bidang berdasarkan problems tiga titik (Three Point Problems).
Maksudnya menentukan kedudukan bidang dari tiga titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya, dimana titik tersebut terletak pada bidang rata yang sama.Dan bidang tersebut tidak terlipat / terpatahkan serta ketiga titik tersebut ketinggiannya berbeda.

2.3 Struktur Garis
Seperti halnya struktur bidang, struktur garis dalam geologi struktur dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
• Struktur garis rill adalah struktur garis yang arah dan kedudukannya dapat diamati langsung dilapangan misalnya gores garis yang erdapat pada bidang sesar.
• Struktur garis semu adalah semua struktur garis yang arah atau kedudukannya ditafsirkan dari onentasi unsur- unsur struktur yang membentuk kelurusan atau laniasi.
Berdasarkan seat pembentukanya struktur garis dapat dibedakan menjadi struktur garis primer dan stn&w garis sekunder dari contoh-contoh struktur garis yang disebutkan diatas yang termasuk struktur garis primer adalah liniasi atau penjajaran mineral - mineral pada batuan beku tertentu ,arah liniasi struktur sedimen dan yang termasuk struktur garis sekunder adalah gores-garis , liniasi memanjang fragmen breksi sesar.garis poros lipatan dan kelurusan -kelurusan topografi, sungai, dsb.

Kedudukan struktur garis dinyatakan dengan istilah – istilah:
- Arah penujaman (Trend) penunjaman (Plunge).
- Arah kelurusan (Bearing) dan Rake atau Pitch.

2.3.1 Definisi Istilah – istilah dalam struktur garis.
Arah penujaman (Trend) adalah jurus dari bidang vertical yang melalui garis dan menunjukan arah penunjaman garis tersebut ( hanya menunjukkan suatu arah tertentu).
Arah kelurusan (Bearing) adalah jurus dari bidang vertical yang melahn gar's tetapi tidak menunjukan arah penunjaman garis tersebut (menunjukkan arah – arah dimana, salah satu arahnaya merupakan sudut pelurusnya).
Rake (Pith) adalah besar sudut antara garis dengan garis horisontal, yang diukur pada bidang dimana garis tersebut terdapat besamya rake sama dengan atau lebih kecil 90 .











Keterangan :
A-B : Jurus (Strike) bidang ABCD, diukur terhadap arah utara
 : Kemiringan (Dip) bidang ABCD, diukur terhadap arah utara
β : Kemiringan Semu (Apparent Dip)
O-A : Arah Kemiringan (Dip Direction)

Gambar 2.2. Proyeksi Kemiringan dan kemiringan semu


2.3.2. Cara Penulisan (Notes) dan Simbol Strukur Garis
Untuk menyatakan kedudukan suatu sruktur garis secara, tertulis dan suatu cara penulisan simbol pada peta geologi.
Penulisan notes' sruktur garis dinyatakan dengan
• "Plunge, Trend ( arah penujaman)".
• Sistem Azimuth , hanya mengenal satu penulisan yaitu Y°,N X° E.
- Xo adalah "Trend',besarnya = 0° - 360°
- Y° adalah "Plunge", besarnya = 0° - 90° (sudut vertikal).
• Sistem Kwadran, Penulisan tergantung pada posisi kwadran yang diinginkan sehingga, mempunyai beberapa cara penulisan, misalnya:
- Sistem azimuth, 30°,N 45° E, make menurut sistem kwadrannya adalah 45°,N 45° E.
- Sistem azimuth, 45°,N 90° E, make menurut sistem kwadrannya adalah 45°, N 90° E, atau 45° S 90°E.

2.3.3 Cara Pengukuran Struktur Garis dengan Kompas Geologi
a. Pengukuran struktur garis yang mempunyai "Trend”
Adapun yang termasuk struktur garis ini adalah gores garis pada bidang sesar, arah arus pembentukan struktur sedimen dan garis sumbu lipatan.
• Pengukuran Arah "Trend".
1. Tempelkan alat Bantu (buku lapanganl"Dipboard') pada posisi tegak dan sejajar dengan struktur garis yang akan diukur.
2. Tempelkan sisi "W' atau "E" kompas pada posisi kanan atau kiri alat Bantu dengan visir kompas ("Sighting Arm") mengarah kepenujaman struktur garis tersebut.
3. Levelkan/horisontalkan kompas (Nivo Mata Sapi, dalam keadaan horisontal), make harga yang ditunjuk oleh jarum utara, kompas adalah harga arah penunjamannya ("Trend").
• Pengukuran "Plunge" ( Sudut Penunjaman ).
1. Tempelkan sisi "W" kompas pada sisi etas alat bantu yang masih dalam keadaan vertikal.
2. Levelkan "Dinometer" dan baca besaran sudut vertikal yang ditunjukkan oleh penunjuk pada skala "Dinometer".
• Pengukuran "Pitch"( Rake ).
1. Buat garis horizontal pada bidang dimana sturktur garis tersebut terdapat (sama dengan jurus bidang tersebut) yang memotong struktur garis yang akan diukur "Rake " -nya.
2. Ukur besar sudut lancip yang dibentuk oleh garis horisontal, butir (1) dengan struktur garis tersebut mengguna-k-an busur derajat.
b. Pengukuran Struktur Garis yang tidak Mempunyai "Trend"(Horisontal).
Adapun yang termasuk dalam struktur garis ini pada umumnya berupa arah¬arah kelurusan (arah limasi fragmen breksi sesar, arah kelurusan sungai, arah kelurusan gawir sesar, d1l). Jadi yang perlu diukur hanya arah kelurusan (bearing) saja.
• Pengukuran "Bearing".
1. Arah visir kompas sejajar dengan unsur-unsur kelurusan struktur garis yang akan diukurmisalnya sumbu memanjang fragmen breksi sesar.
2. Pada posisi butir (1) levelkan kompas (nivo mata sapi dalam keadaan horisontal), make harga yang ditunjuk oleh jarum utara kompas adalah harga arah"Bearing"-nya.

2.3.4 Aplikasi metoda grafis I untuk struktur garis
Aplikasi yang akan dibahas disini meliputi pemecahan masalah-masalah struktur garis antara lain :
1. Menentukan "Plunge" dan "Rake" sebuah garis pada suatu bidang.
2. Menentukan kedudukan struktur garis dari perpotongan dua bidang.

2.4 Tebal dan Kedalaman
Penentuan tebal dan kedalaman dalam geologi struktur pada dasarnya merupakan aplikasi dari metode grafis dan goneometris.

2.4.1 Tebal
Tebal merupakan jarak tegak lures antara dua bidang yang sejajar, yang merupakan batas lapisan batuan.




Gambar 2.3. Proyeksi Ketebalan

Secara garis besar, masalah–masalah penetuan ketebalan dapat dibedakan berdasarkan cara perhitungan nya menjadi :
1) Perhitungan berdasarkan pengukuran langsung
Perhitungan secara langsung hu dapat dilakukan dilapangan dengan syarat kemiringan lereng tegak lures dengan kemiringan lapisan,seperti :
- Medan datar/tak berelief dengan lapisan relatif tegak (Gambar 2.4.1.a).
- Medan vertical dengan lapisan relative horizontal, (Gambar 2.4.1.b).












Gambar 2.4. Pengukuran medan vertical dan horizontal

2) Perhitungan berdasarkan pengukuran tidak langsung.
Perhitungan secara tidak langsung im dapat dilakukan dengan macam-macam cara tergantung pada
1. Keadaan topografi.
2. Kedudukan lapisan batuan.
Unsur-unsur yang dijumpai dilapangan yang dipakai sebagai data perhitungan geometri adalah:
1. Lebar singkapan (s).
2. Kedudnkan /kemiringan lapisan batuan (o).
3. Besar sudut lintasan arahjums lapisan ().
4. Besar sudut kemiringan lereng /slope (β).

3) Menentukan Tebal Batuan
Diilustrasikan sebagai berikut:

Dimana :
w : Tebal Semu
o : Dip/Kemiringan Semu
β : Slope/ Kemiringan Lereng

Dip > Slope
Rumus : t = w sin (180o - o – β})
t = w sin β
t = w cos β
Dimana : w = Tebal Semu
o = Dip/Kemiringan Lapisan
β = Slope/Kemiringan Lereng
t = Tebal Sebenarnya

2.4 Kedalaman
Kedalaman merupakan jarak vertical dari ketinggian tertentu (permukaan air laut) ke arah bawah terhadap suatu titik, garis atau bidang.


Gambar 2.6. Proyeksi Kedalaman

Secara, garis besar, masalah – masalah penentuan kedalaman dapat dibedakan /dibagi berdasarkan cara perhitungan nya menjadi :
1. Perhitungan berdasaarkan pengukuran tegak lurus jurus lapisan.
2. Perhitungan berdasarkan pengukuran tidak tegak lurus jurus lapisan.

2.4.1 Pengukuran kedalaman pada, arah lintasan tegak lurus jurus lapisan
1. Medan datar/topografi tidak berelief
d = 1 tg o
keterangan :
d : Kedalaman
I : Panjang lintasan pengukuran


2. Medan /topografi dengan slope
a. Dip searah dengan slope.
d = I (cos βo. tg o - sin βo) (Gambar 2.4.3)
b. Dip berlawanan dengan slope.
d = I (cos βo . tg o + sin βo) (Gambar2.4.4)



2.4.2 Pengukuran kedalaman pada arah tidak tegak lurus jurus lapisan
a. Dip searah dengan slope
d = I (tg o. cos βo. - sin o – sin βo)
b. Dip berlawanan dengan slope
d = I (tg o. cos βo. - sin o + sin βo)


2.5 Pola Singkapan dan Peta Geologi
Pola singkapan adalah suatu bentuk penyebaran batuan dan struktur yang tergambarkan dalam peta geologi .
Peta geologi adalah suatu peta yang menggambarkan keadaan geologi daerah tersebut, meliputi penyebaran batuan (litologi), penyebaran struktur dan bentuk morfologinya.
Besar dan bentuk dari pola singkapan tergantung dari beberapa hal, yakni:
1. Tebal lapisan.
2. Topografi/morfologi.
3. Besar kemiringan (Dip) lapisan.
4. Bentuk struktur lipatan.

Hukum " V" (V Rule)
Hubungan antara lapisan yang mempunyai kemiringan dengan bentuk topografi berelief akan menghasillcan .suatu pola singkapan yang beraturan, diamana aturan tersebut dikenal dengan hukum "V". Aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut :
a) Lapisan horizontal akan membentuk pola singkapan yang mengikuti pola garis kontur.
b) Lapisan dengan kemiringan yang berlawanan dengan arah kemiringan lereng maka kenampakan lapisan akan memotong lembah dengan pola singkapan membentuk huruf "V" yang berlawanan dengan arah kemiringan lembah.
c) Pada lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus dimana pola singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi.
d) Lapisan yang miring searah dengan arah kemiringan lereng dimana kemumgan lapisan lebih besar danpada kemiringan lereng akan membentuk pola smgkapan dengan huruf "V" mengarah sama (searah) dengan arah kemiringan lereng.
e) Lapisan dengan kemiringan yang searah dengan kemiringan lereng dimana besar kemiringan lapisan lebih kecil dari kemiringan lereng , maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V" yang berlawanan dengan arah kemiringan lereng /lembah.
f) Lapisan yang kemiringan nya searah dengan kemiringan lembah dan besarnya kemiringan lapisan sama dengan kemiringan lereng/lembah maka pola singkapan tampak .



2.5.1 Metoda Pembuatan Pola Singkapan dan Peta Geologi
Dalam pembuatan peta geologi, dilakukan dengan cara mengamati singkapan-singkapan batuan yang dijumpai. Pengamatan singkapan batuan biasanya dilakukan dengan mengambil jalur disekitar aliran sungai disepanjang aliran sungai inilah dapat dijumpai smgkapan batuan dengan baik.
Pengamatan yang dilakukan meliputi jenis batuan, penyebaran, kedudukanya, hubungan antar satuan (litologi), strukturnya (baik struktur primer maupun skunder).
a) Data singkapan dari flap lokasi pengamatan diplotkan pada peta dasar (peta topogmfi) berupa simbol, tanda, warns.
b) Batas litologi, garis sesar, sumbu lipatan dapat berupa garis penuh (tegas) bila diketahui dengan pasti atau berupa garis putus-putus jiak diperkirakan.
c) Legenda peta diurutkan sesuai dengan urutan stratigmfi (hukum superposisi).
d) Penyebaran satuan batuan (pola singakapannya dapat ditarik batasnya diantara satuan batuan yang berlamw dengan memperhatikan hukum "V".

2.5.2 Pembuatan Penampang Geologi
Suatu gambaran yang memperlihatkan keadaan geologi secara vertical, sehingga diketahui hubungan satu dengan lamnya. Dalam pembuatan penampang geologi dipilih suatu jalur tertentu sedemikian rupa, sehingga dapat memperlihatkan dengan jelas semua keadaan geologinya secara vertikal. Dalam hal ini dipilih atau dibuat suatu jalur yang arahnya tegak lurus terhadap jurus umum lapisan batuan, sehingga dalam penampang akan tergambarkan keadaan kemiringan lapisan yang asli (true dip).Namun pembuatan penamapang terkadang jugs melalui jalur yang tidak tegak lurus terhadap jurus lapisan batuan maka disini penggambaran besar kemiringan lapisan nya adalah merupakan kemiringan lapisan semu (apparent dip) yang besarnya sesuai dengan arah sayatan terhadap jurus lapisan batuan.
Rekonstruksi :
a) Perhatikan arah sayatan penampang terhadap jurus umum lapisan (tegak lurus atau tidak).
b) Buat "base line" yang panjangnya sama dengan panjang garis penampang peta geologi.
c) Buat "end line" dan berikan angka – angka yang menunjukan ketinggian sesuai dengan skalanya.
d) Buat "profile line" dengan cara mengeplot ketinggian garis kontur yang terpotong garis penampang, dan kemudian hubungkan.
e) Gambarkan keadaan geologinya, meliputi batas lapisan, batas struktur dan lainnya, yang terpotong oleh garis penampang.

2.6 Metoda Statistik
Metoda, statistik, yakni suatu metoda, yang diterapkan untuk mendapatkan kisaran harga rata – rata atau harga maksimum dari sejumlah data acak satu jenis struktur . dari sim kemudian dapat diketahui kecenderungan – kecenderungan, bentuk pola, ataupun kedudukan umum dari jenis struktur yang sedang dianalisa .
Metoda, statistik yang sering atau umum dipakai dalam kegiatan analisa struktur, terdiri dari 2 (dua) metoda, yang pengelompokannya, didasarkan etas banyaknya parameter yang akan diketahui hasil statistiknya.
Metoda statistik dengan satu, parameter yakni pembuatan diagram yang didasarkan atas, sejumlah data struktur yang hanya, memiliki satu, parameter saja.
Metoda statistik dengan dua parameter yakm pembuatan diagram --diagram, bedasarkan sejumlah data struktur yang memiliki parameter.

2.6.1 Diagram Kipas
Tujuan diagram ini dimaksudkau untuk mengetahui arah kelurusan umum dari unsur – unsur struktur yang data-datanya, hanya, terdiri dari satu unsure pengukuran.
Tabulasi data - data pengukuran yang terkumpul dimasukan kedalam suatu. table (tabulasi data),dengan tujuan untuk mempermudah proses dalam pembuatan diagramnya. Dalam hal ini jumlah data tidak terdapat batasan mengenai banyak nya data yang harus dikumpulkan. Semakin banyak data lapangan dalam analisa, make hasilnya akan mendekati keadaan sebenarnya.


Pembuatan Diagram Kipas
Dari pemasukan data-data pengukuran kedalam data suatu tabel diperoleh harp prosentase maksimum 24%. Harga ini dipakai sebgai patokan untuk menetukan panjang jari –jari diagram setengah lingkaran .
Panjang jari–jari Dari harga maksimum 24% = 6 cm. kemudian panjang jari–jari tersebut dibagi enam , sehingga, setiap satu, interval berharga, 4%. Selanjutnya dari setiap interval dibuat busurnya, dengan pusat titik nol dan panjang jari–jari sama, dengan interval yang bersangkutan. kemudian bagilah sisi paling luar dari busur sesuai dengan pembagian arahnya. Melalui pembagian interval tersebut tariklah garis- garis kearah pusat busur.

2.6.2. Diagram roset.
Tujuan diagram ini dimaksudkan untuk mengetahui arah kelurusan umum dari unsur – unsur struktur yang data – datanya hanya memiliki satu pengarahan.
Tabulasi data –data pengukuran lapangan yang terkumpul dimasukan kedalam suatu table dengan tujuan untuk mempermudah pembuatan diagramnya.

Pembuatan diagram roset
Pada prinsipnya cara pembuatan diagram roset ini sama dengann cara pembuatan diagram kipas . perbedaanya hanya terletak pada bentuknya, diagram kipas berbentuk setengah lingkaran sedangkan diagram roset merupakan lingkaran penuh.

2.7 Kekar
Suatu rekahan yang relative tanpa mengalami pergesaran pada bidang rekahannya . penyebab tedadinya kekar dapat disebabkan oleh gejala tektonik maupun non tektonik. Klasifikasi kekar ada beberapa macam, tergantung dasr klasifikasi yang digunakan, diantaranya :
a) Berdasarkan bentuknya.
b) Berdasarkan ukurannya.
c) Berdasarkan kerapatannya.
d) Berdasarkan cara terjadinya (genesanya).
2.7.1 Klasifikasi kekar berdasarkan genesanya
a. Shear joint (kekar gerus), tedadinya akibat adanya tegasan tekanan (compressive stress).


Gambar 2.8. Kekar Gerus

• Tanda-tanda untuk mengetahui kekar genus ini
- Bidang kekar rata (lurus)
- Adakala terdapat struktur "Pumice" akibat pergeseran yang sangat kecil.
- Bidang kekar rata dan rapat, tak ada pengisian walau memotong batuan yang bermacam-macam maka dibidangnya tetap rata.

b. Kekar tegangan (Tension joint) atau kekar tarik adalah kekar yang terjadi karena gaya tarik (tension) diman kekamya tegak lurus dengan gaya pembentuknya.

Gambar 2.9. Kekar Tarik
• Tanda-tanda kekar tarik di lapangan
- Sifatnya membuka
- Biasanya rekahanya terisi dengan batuan lain
- Bidang kekar tidak rata, sehingga jika memotong permukaan akan berupa garis yang tidak lurus.
Tension joint (tension stress), dibedakan atas ;
a. Extension joint, terjadi akibat pemekaran atau tarikan.
b. Release joint, terjadi akibat berhentinya gaya yang berkerja.

2.7.2. Analisa Kekar
Secara skematis prosedur analisanya dalah sebagai berikut : Pengumpulan atau pencataan data – pengelompokan data- penyajian data- analisa data- interpretasi- diskusi.
Untuk analisa data , digunakan metoda statistic yang dilakukan dengan:
a. Diagram kipas.
- Pita radial.
- Garis radial.
b. Histogram.
Diagram kontur, dengan mengunakan proyeksi streografi dan proyeksi kutup.
Tujuan analisa :
- Menentukan kedudukan atau arah umum dari kekar.
- Menentukan arah umum dari gaya utama.

2.8 Sesar
Suatu, bidang rekahan atau zona rekahan yang telah mengalami pergeseran. Beardasarkan tipe gerakannya secara umum dibedakan atas :
a. Sesar translasi, yaitu jenis sesar yang pergeseranya sepanjang garis lurus.
b. Sesar rotasi , yaitu jenis sesar yang pergeseranya, mengalami perputaran/ terputar.
Sifat pergeseran sesar dapat separation ( pergeseran semu) dan slip pergeseran relative) :
a. Separation jarak adalah tegak lurus antara dua bidang yang tergeser dan diukur pada bidang sesar.
b. Slip adalah pergeseran relative pada sesar , diukur dari blok 1 ke blok lamnya, merupakan pergesaran titik - titik yang sebelumnya berimpit. Total pergeseran relatifnya disebut dengan net — slip.
Unsur-unsur / istilah dalam sesar :
a. Bidang sesar , yaitu, suatu, bidang sepanjang rekahan dalam batuan yang tergeserkan.
b. Dip sesar, yaitu sudut antara, bidang sesar dengan bidang horisontal dan diukur tegak lurus jurus sesar. Strike dan dip sesar menunjukkan kedudukan dari bidang sesar.
c. Hade yaltu sudut antara, garis vertikal dengan bidang sesar, dan merupakan penyiku dari dip sesar.
d. Thrue , yaitu komponen vertikal dari slip / speration diukur pada bidang vertikal yang tegak lurus jurus sesar.
e. Heave, yaitu komponen horisontal dari slip / separation , diukur pada bidang vertical yang tegak lurus, jurus sesar.
f. Hanging wall dan foot wall yaitu blok yang terletak diatas bidang sesar dan dibawah bidang sesar.


Gambar 2.10. Struktur Sesar.

2.8.1 Klasifikasi bidang sesar
Penamaan dari suatu sesar adalah tergantung dari dasar klasifikasi yang digunakan, diantara sebagai berikut :
Berdasarkan orientasi pola tegasan utama yang menyebabkannya
a. Thrust fouls, jika tegasan utama maksimum dan intermediate adalah horisontal.
b. Normal fault, jika pola tegasan utama maksimum adalah vertikal.
c. Wrench fault (strek slip fault), jika pola tegasan utama maksimum dan minimum adalah horisontal.

2.9 Lipatan
Merupakan basil perubahan bentuk dan suatu bahan yang ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan dan lengkungan pada unsure garis atau bidang di dalam bahan tersebut.
Mekanisme gaya yang menyebabkannya ada dua macam :
a. Buckling (melipat) disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya sejajar dengan permukaan lempeng.
b. Bending (pelengkungan), disebabkan oleh gaya tekan yang aralmya tegak lurus permukaan lempeng.
Berdasarkan proses lipatan dan jenis batuan yang terlipat dapat di bedakan menjadi 4 macaw lipatan, yaitu :
a. Flexur /Competent Folding termasuk di dalamnya Parallel Fold.
b. Flow /Incompetent Folding termasuk di dalamnya Similar Fold.
c. Shear folding.
d. Aexure and flow folding.

2.9.1. Unsur-unsur lipatan
a. Antiklin adalah unsur shuktur lipatan dengan bentuk convex keatas dengan urutan lipatan batuan yang tua di bawah dan yang muda diatas.
b. Sinklin adalah unsur struktur lipatan dengan bentuk concave keatas dengan uratan lapisan batuan yang tua dibawah dan yang muda di etas.
c. Antiform adalah unsur shuktu lipatan seperd antil-din dengan lipatan batuan yang tua diatas dan yang muda di bawah.
d. Sinform adalah unsur struktur lipatan seperd sinklin dengan lapisan batuan tua diatas dan yang muda di bawah.
e. Hinge adalah pelenkungan maksimum dari lipatan
f. Crest adalah puncak titik tertinggi dari lipatandil.




Gambar 2.11. Struktur Lipatan

2.9.2 Klasifikasi lipatan
Untuk menamakan suatu lipatan harus sesuai dengan klasifikasi yang sudah ada, yang mane klasifikasi tersebut ada bermacam-macam tergantung dari dasar yang di gunakan.

2 9.3 Analisa Lipatan
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui arah lipatan, kedudukan bidang sumbu dan garis sumbu, bentuk lipatan,penunjaman dan pole tegasan yang berpengaruh terhadap pembentukan lipatan.
Untuk struktur lipatan yang ben&uran kecil (mikro) dan bentuk tiga dimensi dapat ditaksirkan, analisanya dilakukan dilapangan dengan cara mengukur langsung unsur-unsurnya (kedudukan garis-garis sumbu bentuk lipatan, dan arah penunjaman).
Untuk lipatan berskala besar (mayor fould) dimana sexing bentuk utuhnya tidak teramati secara langsung atau struktur lipatan itu sudah terkikis make terhadapnya dilakukan analisis yang berdasarkan pada :
a. Mengukur kedudukan struktur bidang yang terlipat, yakni bidang perlapisan (bedding or lentation) pada batuan sediment dan bidang-bidang foliasi pada batuan metamorf.
b. Mengukur kedudukan "deavage" (deavage orientation) yakni rekahan yang bervariasi sejajar dan umumnya sejajar pula dengan kedudukan bidang sumbu lipatan ( axial plane deavages ).
c. Mengukur bidang-bidang dan garis-garis sumbu lipatan-lipatan kecil Hinge lines of small fold).
b. Mengukur perpotongan bidang-bidang perlapisan dengan "deavage" (deavage bedding intersection).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pelaksanaan praktikum geologi struktur dapat disimplkan bahwa :
1. Geologi struktur adalah studi mengenai distribusi tiga dimensi tubuh batuan dan permukaannya yang datar ataupun terlipat, beserta susunan internalnya.
2. Unsur-unsur struktur secara geometris pada dasarnya hanya terdiri dari dua unsur geometris yaitustruktur bidang dan struktur garis dimana struktur bidang terdiri dari Bidang perlapisan kekar, sesar, foliasi dan sumbu perlipatan sedangkan struktur garis terdiri dari gores-garis, perpotongan dua bidang, liniasi dan lain-lain.
3. Struktur geologi perlu di pelajari karena pada daerah ini merupakan tempat terperangkapnya mineral-mieral berharga.
4. Pola singkapan adalah suatu bentuk penyebaran batuan dan struktur yang tergambarkan dalam peta geologi.
5. Besar dan bentuk dari pola singkapan tergantung dari beberapa hal, yakni:
• Tebal lapisan.
• Topografi/morfologi.
• Besar kemiringan (Dip) lapisan.
• Bentuk struktur lipatan.
6.

3.2 Saran
Berdasarkan dari keseluruhan pertemuan dan pelaksanaan praktikum, baik indoor maupun out door, penulis menyarankan agar pelaksanaan praktikum selanjutnya dapat lebih baik lagi, yaitu persediaan peralatan-peralatan lapangan agar dapat diperbanyak dan diperbaharui sehingga membuat mahasiswa lebih terampil dan mahir dalam pengaplikasian di lapangan, serta untuk pelaksanaan praktikum di lapangan (out door) lebih ditingkatkan lagi, mengingat kegiatan praktikum di lapangan lebih aplikatif.

Selasa, 07 Juli 2009

dasar teori praktikum ilmu ukur tanah

BAB II
DASAR TEORI

Dalam pekerjaan pengukuran progress mining atau survey perlu digunakan alat-alat untuk mempermudah penyelesaian pengambilan data-data. Jenis alat yang digunakanpun sangat mempengaruhi kecepatan dan ketepatan dalam peker jaan tersebut. Alat yang umum digunakan dalam pengukuran ini adalah theodolite.
2.1. Peralatan Pengukuran
2.1.1 Theodolite
Secara garis besar theodolit terbagi 2
 Theodolit bagian atas, terdiri dari :
1. Plat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertical
2. Sumbu HOR
3. Nivo tabung
4. Telescop (teropong)
Pada teropong ini terdapat dua lensa, depan yang disebut lensa objektif dan belakang yang disebut lensa okuler, dimana kedua lensa diletakkan sedemikian rupa sehingga sumbu optisnya berimpit. Agar teropong bisa digunakan sebagai alat bidik pada bagian belakang dilengkapi dengan dua garis salib sumbu yang terbuat dari benang laba- laba atau dengan cara digoreskan pada kaca. Garis salib sumbu biasanya berupa garis tegak dan tiga garis mendatar yang biasanya digunakan untuk pembacaan.
 Theodolit bagian bawah, terdiri dari
1. Plat bawah
2. Lingkaran horizontal
3. Tabung sumbu luar dari sumbu vertical
4. Sekrup pengikat datar ( penyetel nivo)
5. Statip atau tripot atau kaki tiga yang berguna untuk menyangga theodolit
6. Centring.
2.1.1.1. Bagian – bagian dari theodolit dan kegunnannya
A. Tombol Focus yang berguna untuk memper jelas objek yang dituju
B. Nivo
Pada alat theodolit biasanya terdapat dua buah nivo yaitu nivo kotak yang terletak dibawah dan nivo tabung yang terletak diatas dimana nivo sendiri berfungsi untuk mengetahui kedudukan theodolit dalam keadaan waterpas dari kedua arah.
1. Teropong kecil untuk melihat bacaan horizontal dan vertical
Biasanya terletak disebelah kanan dari teropong besar yang berguna untuk membaca sudut horizontal dan vertical.
2. Mikrometer
Alat ini terletak pada bagian kanan atas dari theodolit yang berguna untuk mempaskan bacaan sudut horizontal dan vertical dengan cara diputar kedepan atau kebelakang agar sudut horizontal dan vertical pas pada pembacaan sudut.
3. Centring
Berguna untuk melihat posisi alat apakah sudah tepat berada diatas patok. ¬Pada alat model lama tidak ada centringnya masih menggunakan unting¬unting yang dihubungkan dengan benang dan digantung di bawah alat ukur.
4. Statip
Berfungsi menopang alat ukur theodolit agar ketinggiannnya sesuai dengan ketinggian pembacanya dimana kaki statip bisa digerakkan naik tunin.
5. Bak atau Rambu
Berupa garis garis yang tebalnya 1 cm yang berguna untuk menghitung jarak yang diukur yaitu jarak antara alat berdiri dengan bak yang menghasilkan jarak miring.



Gambar 2.1. Bak Rambu Ukur

2.1.1.2 Pemasangan theodolit dan Pembacaan Alat Ukurnya :
Sebelum theodolit digunakan harus distel terlebih dahulu agar posisi theodolit bisa waterpas atau level kesegala arah dan cara penggunaannya sebagai berikut :
Sebelum alat dikeluarkan dari tempatnya maka harus diperhatikan terlebih dahulu posisi alat tersebut pada tempatnya, karena dikhawatirkan apabila tidak diperhatiakan posisinya,, setelah dipakai dan akan disimpan kembali akan mengalami kesulitan . Untuk mempermudah pada setiap alat pasti ada tandanya berupa titik merah atau hitam dan biasanya kedua titik tersebut dalam keadaan sejajar bila akan dimasukkan pada tempatnya. Setelah posisi tandanya sudah kita perhatikan lalu letakkan pesawat diatas statip atau kaki tiga lalu diikat dengan baut yang ada pada statip. Setelah pesawat tereikat dengan sempurna pada statip baru pesawat yang sudah terikat pada statip diangkat dan diletakkan diatas patok yang sudah ada pakunya.
Pertama tancapkan salah satu kaki di tripod sambil tangan dua memegang kedua kaki di tripod lihat paku dibawah dengan bantuan centring, setelah paku terlihat baru kedua kaki yang kita pegang ditaruh pada tanah (kalau sudah mahir tanpa melihat centring sudah bisa menentukan posisi alat sudah tepat diatas patok atau palu (walaupun tidak pas). Setelah statip ditaruh semua dan patok serta pakunya sudah kelihatan (walau tidak tepat) baru diinjak ketiga kaki di statip agar posisinya kuat menancap ditanah dan alat tidak mudah digoyang . Setelah posisi statip kuat dan tidak goyang barulah dilihat paku lowat centring, apabila paku tidak tepat maka kejar pakunya dengan menggunakan sekrup penyetel sambil melihat centring, karena dengan memutar sekrup penyetel. lingkaran petunjuk yang ada pada centring akan berubah dan arahkan lingkaran tersebut pada paku yang ada dipatok. Setelah itu barulah dilihat nivo kotak¬(bagian bawah).
Apabila nivo mata sapinya tidak ada ditengah maka posisi alat dalam keadaan miring. Untuk melihat dimana posisi alat yang lebih tinggi maka lihat gelembung yang ada pada nivo kotak apabila nivo mata sapinya ada di Timur maka posisi alat tersebut lebih tinggi disebelah Timur (kaki sebelah Timur dipendekkan atau yang sebelah Barat dinaikkan ). Setelah posisi gelembung pads nivo kotak ada ditengah maka alat sudah dalam keadaan waterpas (walau masih dalam keadaan kasar), untuk menghaluskan agar posisinya lebih level maka gunakan nivo tabung caranya : karena dibawah alat theodolit terdapat tiga sekrup penyetel maka sebut saja sekrup A, B, C. Pertama sejajarkan nivo tabung dengan kedua sekrup penyetel (bebas dan tidak terikat harus sekrup yang mana). Misalnya saja A dan B, setelah itu baru dilihat posisi gelembungaya. Apabila tidak ditengah maka posisi alat tersebut belum level maka harus ditengahkan dengan menggunakan sekrup A dan B (kalau belum mahir disarankan untuk menggunakan satu sekrup saja A atau B karena dikhawatirkan sekrup yang A akan menarik nivo kekiri dan sekrup yang B akan menarik nivo tabung kekanan ). Setelah nivo tabung ada ditengah baru diputar 90° atau 270° dan nivo tabung ditengahkan dengan menggunakan sekrup yang C, setelah ditengah berarti posisi nivo tabung dan kotak sudah sempurna dan keduanya ada ditengah. Setelah itu baru dilihat centring apabila paku sudah tepat pada lingkaran kecil berarti alat tersebut sudah tepat diatas patok apabila belum tepat maka alat harus digeser dengan cara mengendorkan baut pengikat yang berada dibawah alat ukur. Setelah kendor geser alat tersebut agar tepat di atas paku. Perlu diingat untuk merubah posisi alat agar tepat diatas paku harus digeser sekali lagi digeser dan jangan diputar, sebab kalau diputar posisi nivo pasi akan berubah banyak. Setelah posisi alas tepat diatas patok maka pengaturan nivo tabung diulangi seperti semula sehinga posisinya ditengah lagi, seperti pada waktu penyetelan pertama. Setelah itu baru angka bacaan pada Skala horizontal disetel dan diatur pada angka 000'0" dan selanjutnya sejajarkan arah teropong, dan arah Utara dengan menggunakan kompas arah, setelah itu di ukur tingginya alat dan alat siap digunakan.
2.1.1.3 Pembacaan Mistar
Dalam pengukuran dengan menggunakan theodolit data yang diperleh salah satunya adalah jarak. Jarak ini didapat dengan pembacaan Benang Atas (BA), Benang Tengah (BT) dan Benang Bawah (BB).
Contoh : BA = 1750
BT = 1500
BB = 1250
Untuk mengetahui bacaan rambu salah atau benar dapat dicek dengan menggunakan rumus :
(BA +BB = BT)/2
BB + BA = 2BT
BB = 2BT – BA
BA = 2BT – BB
Contoh :
Diketahui, benang atas 1750 mm, benang bawah 1250
Jadi benang tengah =(1750 + 1250)/2 = 1500



Dalam hal ini Benang Tengah diusahakan menggunakan bilangan bulat. Contoh 1500, 1450, 1520, 1480 karena dengan dibulatkan akan memudahkan dalam perhitungan selanjutnya. Hasil dari (BA – BB) x 100 merupakan Jarak Miring.
2.1.1.4 Koreksi Sudut Horizontal dan Vertical ( biasa dan luar biasa)
Dalam pembacaan sudut baik yang horizontal maupun vertiakal ada koreksinya- Cara pengkoreksiannya adalah dengan pembacaan luar biasa. Setelah theodolit tepat pada posisi yang dituju maka dibaca sudut horizontal maupun yang vertical.
Contoh :
Sudut Horizontal 179°37'28" (biasa)
Sudut vertikal 93°28 48 " (biasa)
Maka untuk mendapatkan pembacaan luar biasa alai theodolit kita putar 180°secara horizontal dan teropong diputar 180° secara vertical maka akan didapat bacaan sebagai berikut :


Sudut Horizontal 359°37'10"( luar biasa) 266°31'03"( luar biasa) Hasilnya 359037'10" 93°28'48"
179°37'28" - 266°31'03" +
179059'42" 359°59'51 "
Kalau hasilnyu baik untuk pembacaan sudut horizontal luar biasa- sudut biasa = 180°. Sedang untuk koreksi pembacaan sudut vertikal biasa dan luar biasa maka sudut biasa + luar biasa = 360°. Koreksi yang diijinkan adalah 200 dan apabila koreksinya > 20° maka alat survey tersebut harus dikalibrasi. Setelah itu baru angka bacaan pada skala, horizontal distel dan ddiatur pada angka 0°0'0" dan selanjutnya sejajarkan arah teropong dan arah Utara dengan menggunakan kompas arah Setelah itu diukur tingginya alat dan alat siap kerja.
2.2 . Pengukuran. (Survey)
2.2.1. Survey Original
Dalam kegiatan penambangan sebelum dimulai kegiatan yang lainnya, maka terlebih dahulu akan dilakukan kegiatan survey original yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan permukaan tanah yang belum berubah karena belum ada kegiatan penambangan. Survey original sebagai acuan untuk perhitungan volume progress. Dalam pekerjaan survey original atau progress digunakan sistem line, dimana jarak dan data yang dihasilkan dari pengukuran ini adalah jarak miring dan beda tinggi dan selanjutnya akan diketahui jarak datar dan beda tinggi dari rumus tersebut diatas. Sebelm survey original dimulai biasanya terlebih dahulu dilakukan kegiatan clearing agar mempermudah pekerjaan survey original . Hasil dari perhitungan original berupa potongan melintang dimana setelah peta selesai barulah pekejaan penambangan dapat dilakukan.
2.2.1.1 Pengukuran (survey) original
Cari atau tentukan titik dipatok simpanan pada lahan yang belum ditambang karena biasanya surveyor pasti mempunyai simpanan titik atau patok yang disimpan didalam hutan agar tidak hilang dan tidak dicabut . Setelah itu baru ditarik pada daerah yang akan dikembangkan dan dipasangi patok dengan jarak tiap 10m dan patok tersebut didirikan alat dan dihitung jaraknya. Didirikan alat pada patok-patok yang jaraknya kelipatan 10, akan didirikan alat untuk menembak kiri dan kanan dengan menggunakan rambu untuk mengetahui jarak maupun beda tinggi.- Dengan data original dapat digunakan untuk menggambar propil melintang dari daerah yang diukur. Kegiatan ini merupakan dasar atau acuan untuk menghitung progress setelah tambang dikerjakan.
3.2.2 Pengukuran (Survey) Progress
Survey progress adalah survey yang diakukan setiap bulan yang bertujuan untuk menghitung berapa volume overburden (lapisan tanah penutup) yang telah diambil dan dipindahkan dari lokasi tambang yang akan diambil batubaranya ketempat lokasi yang tidak ada batubaranya (disposal area). Dari basil survey progress digunakan untuk menghitung berapa uang yang dibayarkan dari pemilik lahan (owner) kepada kontraktor. Mengingat pentingnya pekerjaan survey progress maka biasanya dilakukan oleh dua team survey yaitu kontraktor dan owner. Hasil perhitungan kedua team survey akan dibandingkan dan dirata--ratakan. Data yang diperoleh dan pengukuran survey progress adalah jarak datar, Beda Tinggi dan data ini akan diplotkan pada peta yang sebelumnya sudah diplotkan data original pada line yang sama.
2.2.2.1 Cara Pengukuran Survey Progress
Metode pengukuran progress yang dilakukan pads PT. Alas Watu Utama adalah menggunakan sistem penampang melintang atau sistem line dengan jarak antar line adalah 10 m. Untuk mempermudah perhitungan line-line tersebut dibuat pada angka kelipatan 10, sedangkan arahnya tidak terikat dan tinggal mengikuti survey yang sudah dilakukan sebelumnya baik itu arah Timur Barat atau Utara Selatan. Pertama cari dua buah titik simpanan yang masih baik. Contoh titik D 340 dan E 340 (biasanya disimpan di hutan, agar tidak terganggu ). Salah satu dititik -tersebut dijadikan untuk mendirikan alat dan satunya untuk back sigh. Dari kedua titik tersebut tarik titik ketempat lokasi dimana pada lokasi tersebut banyak terjadi perubahan karena diambil lapisan atasnya atau overburden selama satu bulan. Dari tarikan tersebut dibuat baseline dimana jarak tiap- tiap baseline 10 m. Dari baseline tersebut didirikan alat satu persatu untuk mengambil detail baik kearah 900 atau 2700 dimana detail-detail tersebut diplot gambar- gambarnya yang akan dijadikan acuan dalam menghitung luas areal tersebut . Hasil perhitungan luas dijumlahkan dan dikalikan dengan 10 m (jarak antar line) yang akan menghasilkan volume.



Gambar 2.2. Contoh Pembuatan Baseline
Dalam pengambilan data, daerah yang diukur adalah seluruh daerah Yang berubah, cara pengambilan data harus mengikuti lekuk- lekuk permukaan tanpa harus ada yang terlewati.
2.2.3 Arah
Dalam pekeerjaan survey, baik untuk survey geologi, pemetaan topografi. situasi maupun untuk survey progress, arah atau azimuth merupakan hal yang harus dicari dilapangan. Ada dua cara untuk mencari arah :
1. Dengan cara setiap alat berdiri, arah Utara disejajarkan dengan 00 pada piringan skala HOR. Kelebihan dari cara ini tidak perlu menghitung besarnya sudut dari titik-titik yang ditembak karena begitu ditembak skala horizontal sudah menunjukan arah sebenarnya. Sedangkan k-ekurangannya adalah pada setiap berdiri alat harus mensejajarkan arah Utara dengan arah 0° pada alat. Dengan demikian setiap berdiri alat harus memasang kompas arah, dan mensejajarkan arah Utara dengan 0° pada piringan skala horizontal. Seperti diketahui magnet pada kompas arah peka sekali terhadap bahan logam atau besi, sedangkan disekitar alat banyak perangkat survey terbuat dari besi misalnya parang, tongkat payung dan lain- lain. Jadi dengan demikian benda-benda tersebut mempengaruhi jarum kompas, arah Utara pada kompas, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan arah.



Gambar 2.3. Pengukuran Dengan Menggunakan Arah Utara Sebagai Acuan
2. Setiap berdiri alat arah 0° pads Skala horizontal diarahkan ketitik sebetumnya. Keuntungan dari cara ini adalah penggunaan kompas arah hanya pada waktu pemassangan alat untuk penembakkan pertama kali atau pada awal pekerjaan¬. Kerugian dari cara ini terlalu banyak menghitung sudut- sudut yang menggunakan bilangan derajat (0), menit (‘) dan detik (") sedangkan bilangan derajat, menit dan detik merupakan bilangan yang sulit untuk dihitung kecuali bagi yang sudah terbiasa menggunakannya.

Gamar 2.4. Pengukuran Dengan Patok Sebelumya Sebagai Acuan
2.2.4 Jarak miring atau jarak optik
Dalam pekejaan pengukuran yang menggunakan alat ukur iheodolit, yang tidakkalah pentingnya selain arah dan azimuth adalah jarak. Jarak yang dimaksud adalah jarak optis. Jarak optis didapat dari pembacaan mistar, bak atau rambu.
Jarak miring atau optis dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


Dimana: BA =BenangAtas
BB = Benang Bawah
100 adalah bilangan konstanta pengali teropong.
Contoh : BA = 1750 mm
BT =1500 mm
BB = 1250 mm
Jarak Miring = (1750 mm- t250 mm ) x 100
= 50.000 mm
= 59 m
2.2.5 Jarak Datar
Untuk mencari jarak datar dapat dihitug dengan menggunakan rumus seperti dibawah ini.
Cara 1:
Jarak Datar = Cos 2 α x Jarak miring



Contoh :
Diketahui :BA = 1750 Pembacaan vertikal 95 ° 23' 48
BB = 1250
JM= 50 m
Maka slope atau sudut kemiringannya = 95°23'48"
90°00’00” -
5°23’48”
Jarak Datarnya Cos 5°23'48" = 0,9955674382
= 0,991154523 x Jarak Miring
= 0,991154523 x 50 m
= 49,557726 m


Cara 2:
Apabila yang digunakan untuk menghitung bukan sudut kemiringan tapi pembacaan sudut vertikal dan yang terbaca adalah 95023'48" maka rumus yang digunakan adalah :

Diketahui :BA = 1750 Pembacaan vertikal 95 023' 48”
BB = 1250 JM= 50 m
Jarak- Datarnya Sin 2 95 023’ 48" = 0,995567438`
= 0,991154523 x Jarak Miring = 0,991154523 x 50 m
= 49,557726 m
2.2.6 Beda Tinggi
Beda tinggi merupakan hal yang juga sangat penting apalagi dalam pekeerjaan bangunan gedung dan irigasi, kalau tidak teliti akan mengakibatkan kemiringan pada gedung atau aliran air yang tidak sesuai dengan perencanaan. Pada pekerjaan pengukuran beda tinggi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Cara 1 :
BT=1/2Sin 2 α x Jarak Miring
Contoh.
Diketahui BA = 1750 mm BB = 1250
pembacaan sudut vertikal 9523'48" JM= 50 m.
Makasudut kemiringannya adalah 95023'48"
90°00'00"
05023'48"
Beda tinggi = 5°23'48" x 2
= 10°47'36" Sin
= 0,1 872670 1 9 x V2
=0,093633509 x JM
= 0,093633509 x 50m
= 4,681675 m
= - 4,681675 m
Karena pembacaan sudut vertikal lebih dari 90° maka beda tingginya diberi tanda minus.
Cara 2
Apabila yang digunakan untuk menghitung bukan sudut kemiringan tapi pembacaan sudut vertikal dan yang terbaca adalah 95023'48” maka minus yang digunakan adalah :

Diketahui BA = 1750 mm BB = 1250
pembacaan sudut vertikal 95023'48" JM = 50 m Beda tinggi =1/2 (95"23'48" x 2) x 50m
= 1/2 Sin 190'47' 361 ~ x 50m
=1/2(- 0,187267019) x 50m
= -0,093633509 x 50m = 4,681675 m
2.3 Kesalahan Dalam Pengukuran
Dalam pengukuran ada bermacam- macam kesalahan dan yang sering terjadi dilapangan ada tiga macam kesalahan dalam pengukuran yaitu :
2.3.1 Kesalahan yang disebabkan karena alam
Dalam hal ini kesalahan disebabkan karena keadaan bumi yang sebenarnya melengkung atau berbentuk bola tapi kita menggapnya lurus. Hal ini bisa ter jadi karena jarak yang diukur tidak terlalu jauh sekitar 50 m sampai 80 m. Tapi karena jarak yang diukur tersebut berulang kali maka dari jarak yang pendek-¬pendek tersebut digabung yang akan menjadi panjang dengan sendirinya kelengkungan bumi akan berpengaruh terhadap ketelitian pengukuran. Tapi kesalahan karena alam tidak terlalu berpengaruh terhadap penngukuran progress karena dalam pengukuran progress jarak yang diambil tidak telalu jauh maksimal ± 70m sampai dengan ±100m. Jadi dalam hal ini faktor alam bisa diabaikan. Faktor alam juga bisa disebabkan sinar matahari dimana pada bagian nivo yang mudah mengembang jika terkena panas matahari . Maka dalam pekerjaansurvey harus memaki payung jika cuaca dalam keadaan panas.
2.3.2 Kesalahan yang disebabkan oleh alat
Kesalahan karena alat ukut theodolit yang sangat peka terhadap goncangan dan tekanan maka alat ukur ditempatkan pada kotak yang sedemiklan rupa. Karena sering berpindah- pindah maka theodoit juga, akan terguncang- guncang bahkan terbanting dan akan mengalami perubahan misalnya nivo tidak bisa ditengah waktu distel, centring akan berubah jika dilihat disisi lain, pembacaan biasa dan luar biasa pada pembacaan sudut horizontal dan vertikal akan mengamlami selisih yang besar, maka alat tersebut harus dikalibrasi. Kesalahan juga bisa karena rambu ukur misalnya pada waktu memegang rambu letakkya tidak vertikal, bagian bawah rambu sudah rusak, rambu terbenam dilumpur sambungan rambu yang tidak tepat, rambu sudah rusak sehingga tulisannya tidak jelas yang menyulitkan surveyor untuk-membacanya.
2.3.3 Kesalahan yang disebabkan manusia
Kesalahan disini lebih sering terjadi karena, orangnya belum mahir atau kondsi sudah dalam kelelahan. Apabila, lokasinya jauh dan memerlukan perjalanan yang melelahkan. Untuk itu disararankan apabila lokasinya jauh didalam hutan dan mernerlukan perjalanan yang jauh dan melelahkan, lebih baik membuat basecamp dilokasi sekitar tempat kerja, agar bisa menyingkat waktu dan menghemat biaya maupun tenaga. Adapun macam-macam kesalahan yang ditimbulkan oleh manusianya, meliputi kesalahan dalam penyetelan alat, kesalahan dalam pembacaan. Untuk mengatasinya perlu mencari surveyor yang mahir dan diusahakan tempat menginap tidak jauh dari lokasi kerja dan disediakan fasilitas yang memadai.
2.4 Luas Penampang
Yang dimaksud dengan luas (L) adalah suatu nominal yang didapat dari perkalian antara panjang (p) dan lebar (1) dari suatu bidang.
Dalam hal ini, luasnya adalah luas yang dihitung dalam peta atau gambar yang merupakan keadaan bumi dengan proyeksi orthogonal. Luas penampang dapat dihitung secara mekanis menggunakan alat ukur theodolite dan dioleh dengan menggunakan planimeter.
Ada bebempa cara yang dapat digunakan untuk menghitung luas, yaitu antara lain:
1. Dengan menggunakan kertas milimeter
Cara ini dilakukan dengan menghitung banyaknya kotak kecil per milimeter yang termasuk dalam area pengukuran.
L= Luas
n= Banyaknya kotak per milimeter
2. Dengan menggunakan data koordinat
Cara ini dilakulan dengan menggunakan data-data koordinat (koordinat X, Y dan z)

L = Luas, Z = Elevasi, X= Koordinat X, n = point titik pengukuran
3. Dengan menggunakan alat Planimeter
Cara ini lebih mudah, karena dengan mengelilingi area penelitian (dalam bentuk peta) sudah dapat diketahui nilai luas area tersebut.
4. Dengan menggunakan Software
Cara ini yang paling mudah yaitu dengan memasukkan data pengukuran dari theodolite ke dalam komputer (software) seperti surfac,surfer, kemudian diolah dengan perintah-perintah yang tersedia, maka dengan sendirinya akan dapat diketahui besaran luas dari daerah penelitian.
3.5 . Volume Tanah Penutup
Untuk menentukan volume tanah penutup, dapat diperoleh diantaranya melalui peta topografi yaitu dengan cara membuat penampang melintang (cross section). Penampang melintang dibuat tegak lurus terhadap kontur struktur batubara dengan interval tertentu antar penampang dengan batas-batas sesuai rencana-rencana penambangan.
Adapun cara yang dapat digunakan untuk menghitung volume tanah penutup, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menentukan luas area per penampang (section) kemudian luas 1 ditambah luas 2 dibagi 2 kemudian dikalikan jarak per penampang- Atau dapat denggan meuggunakan rumus:

V = Volume tanah penutup
A= Luas area
L = Jarak per area



Gambar 2.5. Penampang Melintang Rata-Rata

Jumat, 22 Mei 2009

Batuan Beku

Batuan Beku

Batuan beku adalah batuan yang terbentuk secara langsung dari proses pembekuan magma, baik didalam bumi maupun diatas permukaan bumi.

Ciri khas batuan beku adalah kenampakannya yang kristalin, yaitu kenampakan suatu massa dari unit – unit kristal yang saling mengunci kecuali yang non kristalin.

Proses pembekuan magma akan menghasilkan kristal – kristal primer ataupun gelasan, yang mana apabila saat itu terdapat cukup energi pembentukan kristal maka akan terbentuk kristal – kristal mineral ukuran besar. Sedangkan bila energi pembentukannya rendah akan terbentuk kristal yang ukurannya sangat halus. Bila pendinginan berlangsung sangat cepat maka kristal tidak akan terbentuk dan cairan magma yang membeku akan menjadi gelas.

Setiap mineral memiliki kondisi tertentu pada saat mengkeristal. Mineral – mineral mafic pada umumnya mengkeristal pada suhu yang relative tinggi, sebaliknya mineral – mineral felsic pada umumnya mengkeristal pada suhu yang relative rendah.

Batuan beku merupakan kumpulan mineral – mineral silika yang mengkeristal. Selama kristalisasi berlangsung selalu ada kecendrungan untuk mempertahankan keseimbangan antara fase padat dan fase cair. Dalam hal ini kristal yang mula – mula terbentuk akan bereaksi dengan cairan, sehingga berubah komposisinya. Reaksi ini terjadi secara terus – menerus pada kristalisasi mineral – mineral plagioklas (mulai mineral basa sampai mineral asam). Reaksi ini disebut “continuous reation series” dipihak lain terjadi secara tiba – tiba pada temperature tertentu, dalam kristalisasi mineral – mineral ferromagnesium (mafic mineral) disebut “discontinuous reaction series”.






Gambar 3.1 Diagram Bown Reaction Series

3. 2. Sifat – Sifat Mineral Penyusun Batuan Beku
Berdasarkan sifat – sifat mineral penyusun batuan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Mineral Utama
Mineral utama adalah mineral – mineral primer yang selalu terdapat dalam satu batuan tertentu dan merupakan yang dominan untuk batuan tersebut.

2. Mineral Sekuder
Mineral sekunder adalah mineral yang terdapat cukup banyak dalam satu batuan beku tetapi tidak selalu seperti halnya mineral primer (utama). Mineral sekunder ini sering juga disebut mineral pelengkap (accessory mineral).

3. Mineral Tambahan (Minor Accesory Mineral)
mineral tambahan adalah merupakan mineral yang terdapat dalam suatu batuan beku yang jumlahnya tidak begitu banyak, kira – kira lebih kecil dari 5 % dari volume batuan. Contoh : apatitie, magnetite, zircon dan lain – lain.


3. 3. Deskripsi Batuan Beku
1. Warna
Warna adalah warna mineral yang dapat di tangkap dan dilihat oleh mata tanpa menggunakan alat bantu. Atau,

2. Jenis Batuan
a. Klasifikasi berdasarkan sifat kimia dan komposisi mineralnya, meliputi :
1. Batuan Beku Asam
Batuan beku yang mengandung unsur silika lebih dari 66 %, umunya berwarna terang. Contoh : granite, apatite, dan lain – lain.

2. Batuan Beku Intermediet.
Batuan ini mengandung mineral silika antara 52 % - 66 % batuan biasanya berwarna terang hingga agak gelap. Contoh : diorite, andesit dan lain – lain.

3. Batuan Beku Basa.
Adalah batuan beku yang komposisi silikanya anatar 45 % - 52 % kaya akan mineral kalsit plagioklas dan mafik mineral. Warnanya gelap / buram sampai kehitaman. Contoh : gabro, basalt dan lain – lain.

4. Batuan beku ultra basa
Jenis batuan beku ini mengandung unsur silika kurang dari 45 %, biasanya berwarna hitam sampai hijau.

3. Struktur Batuan Beku
Struktur batuan beku adalah merupakan kenampakkan atau bentuk dan Susunan dari batuan beku.
Struktur batuan beku meliputi :
a. Struktur masif / kompak
Struktur masif adalah susunan mineral yang kompak, tidak menunjukkan adanya pori – pori, penjajarn mineral / bentuk aliran dan bersifat pejal.

b. Struktur jointing
yaitu struktur batuan yang memperlihatkan retakan – retakan.

c. Vesikuler
Yaitu struktur yang memperlihatkan adanya lubang – lubang akibat pelepasan gelembung – gelembung gas dari magma. Vesikuler ini terbagi dalam beberapa bagian yaitu :
• Vesicle yaitu struktur yang memperlihatkan lubang – lubang yang menyudut.
• Scorian yaitu struktur yang sangat berpori dan tidak teratur dalam masa dasar gelas.
• Pumis yaitu struktur buih dengan lubang – lubang memanjang yang menunjukkan arah aliran buih.

d. Flow
yaitu struktur yang orientasinya sejajar dengan baik oleh kristal maupun oleh lubang – lubang gas.

e. Amigdaloidal
yaitu struktur yang menampakan adanya lubang – lubang gas pada batuan yang terisi oleh mineral - mineral sekunder yang terbentuk setelah pembentukkan magma.

4. Tekstur Batuan Beku
Tekstur batuan beku adalah hubungan antara mineral – mineral yang satu dengan yang lainnya dalam suatu batuan yang meliputi hubungan antara kristalisasi, granulitas dan fabric (kemas).

a. Derajat Kristalitas
Derajat kristalitas atau derajat kristalisasi adalah tingkat kristalisasi mineral dalam suatu batuan. Tingkat kristalisasi pada batuan beku tergantung pada proses pembekuan magma itu sendiri.
Tingkat – tingkat kristalisasi antara lain :
1. Holokristalin
Holokristalin adalah bila seluruh batuan tersusun oleh kristal – kristal mineral.

2. Hipokristalin
Hipokristalin adalah bila batuan beku terdiri dari sebagian kristal dan sebagian yang lain adalah gelas.
3. Holohialin
Holohialin adalah bila seluruh batuan beku tersusun oleh mineral gelas.

b. Granulitas (Ukuran Butir Mineral)
Granulitas adalah derajat besar butir mineral penyusun batuan. Granulitas meliputi :
1. Fanerik
Fanerik adalah kristal dari mineral penysunya tampak jelas dan dapat dibedakan dengan mata dapat juga dengan bantuan luve.
Fanerik dibedakan menjadi :
• Butiran kasar (> 5 mm).
• Butiran sedang (1 – 5 mm).
• Butiran halus (< 5 mm).

2. Afanitik
Afanitik adalah kristal – kristal dari mineral penyusunnya sangat halus sehingga tidak dapat dibedakan dengan mata secara langsung jadi harus menggunakan alat bantu luve atau mikroskop.
i. Mikrokristalin yaitu bila butiran sangat kecil (analisa menggunakan mikroskop).
ii. Kriptokristalin yaitu bila ukuran butirnya labih halus dari mikrokristalin (analisa menggunakan scanning , sinar x).
iii. Amorfus / nonkristalin yaitu bila mineral disusun oleh gelas secara keseluruhan.

c. Kemas (Fabrik)
Kemas adalah hubungan antar kristal – kristal atau susunan antar kristal – kristal yang satu dengan lainnya. Fabric meliputi :
1. Bentuk kristal
• Euhedral yaitu bentuk kristal sempurna dan dibatasi oleh bidang – bidang kristal yang jelas.
• Subhedral yaitu apabila bentuk tidak sempurna dan hanya sebagian saja yang dibatasi oleh bidang- bidang kristal yang jelas atau kombinasi dari bentuk baik dengan bentuk tidak teratur.
• Anhedral yaitu apabila bentuk bidang batas dari kristal tidak teratur atau tidak jelas.

d. Relasi
Relasi yaitu hubungan antar butir kristal – kristal yang satu dengan yang lainya, relasi meliputi :
• Equigranular yaitu ukuran butir kristal yang menyusun batuan hampir sama besar atau relatif seragam.
• Inequigranular adalah ukuran butir kristal penyusun batuan tidak sama besar.

5. Komposisi Mineral
Mineral – Mineral Pembentuk / Penyusun Batuan
Pada batuan beku ada delapan mineral yang umum dijumpai sebagai penyusun batuan beku, biasanya disebut sebagai mineral batuan beku (igneous mineral) dan dapat dibedakan menjadi kelompok, yaitu :
1. Mineral yang tersusun dari unsur silika dan alumina, umunya berwarna cerah (felsik).
contoh mineral :
• Kwarsa
mineral kwarsa mempunyai rumus kimia sio2, berwarna jernih, putih buram dan lain – lainnya. Mengkristal pada system hexagonal, kekerasan 7, umumnya bentuk kristal tidak baik (anhedral), dan mempunyai kilap seperti kaca.
• Feldspar
dibagi dua bagian, yaitu :
1. Potash feldspar
Terdiri dari mineral orthoklas, mikrolin, sanidin, adularia, dan anorthoklas, berwarna merah pucat, putih merah daging, dan abu – abu. Belahannya baik 2 arah kekerasan 6.
2. Plagioklas
Berwarna putih, abu – abu dan lain – lain. Belahan baik 2 arah, kekerasan 6. Mineral ini terdiri dari kalsit plagioklas (anorit, bitownite, labradorit, andesine) dan sedikit plagioklas (albite, oligoklas dan andesine).
• Feldspartoid (foida)
pengganti mineral feldspar, karena terbentuk pada kondisi dimana si o2 kurang. Mineral ini terdiri dari leukosit, nefelin, sodolite dan nosolite serta hauynite. Berwarna putih atau abu – abu kebiruan, kekerasan 6.
• Mika (glimmer)
terdiri dari muscovite (putih jernih), plagotit, (coklat), kekerasan 1 – 2, belahan 1 arah.
2 Mineral yang tersusun dari unsur besi, magnesium, dan kalsium, berwarna cerah (mafic).
• Olivin
Berwarna hijau, kuning kecoklatan, kristal berbutir seperti gula pasir, kekerasan 6 – 7.
• Amphibole
Merupakan mineral terbentuk prismatik panjang bersisi enam, warna hijau kehitaman, belahan 2 arah, kekerasan 5 – 6 dan yang terpenting dari golongan ini adal;ah hornblende.
• Pyroxene
Warna coklat hingga hitam, kekerasan 5 - 6 terdiri dari mineral enstatite, hypersten, diopsite dan augit, belahan 2 arah.
• Biotite
berwarna hitam, dan tampak seperti lembaran.
Untuk mengetahui kekerasan suatu mineral maka dipakai mineral mineral standart pada skala mohs sebagai berikut :
3. Talk
4. Gypsum
5. Kalsit
6. Fluorite
7. Apatite
8. Arthoklas
9. Kwarsa
10. Topas
11. Korundum
12. Diamond atau intan.

7. Genesa
Genesa adalah peristiwa yang menyebabkan terbentuknya batuan beku tersebut

Stratigrafi

           Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/ gambaran atau urut-urutan lapisan. komposisi dan umur relatif serta distribusi peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari pemerian perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi

STRATIGRAFI
              Ilmu stratigrafi muncul di britania raya pada abad ke-19. Perintisnya adalah William smith. Kala itu diamati bahwa beberapa lapisan tanah muncul pada urutan yang sama (superposisi). Kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan tanah yang terendah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian.
               Karena banyak lapisan tanah merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat yang berbeda-beda maka, bisa dibuat perbandingan pada sebuah daerah yang luas. Setelah beberapa waktu, dimiliki sebuah sistem umum periode-periode geologi meski belum ada penamaan waktunya
2. 2. PRINSIP STRATIGRAFI
           Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi, yaitu:
1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari: 

• Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)

         Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.

• Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)

         Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.

• Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)  

         Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar (horizontal), sedangkan akumulasi pengendapannya terjadi secara vertikal (principle of vertical accumulation).

2. Hukum yang dikemukakan oleh James Hutton (1785)

Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme

          yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain “masa kini merupakan kunci dari masa lampau” (“the present is the key to the past”). Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.

3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan H. Robinson.

        Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang diterobosnya

4. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession) oleh De Soulovie (1777)

          Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.

5. Prinsip William Smith (1816)

          Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.

6. Prinsip Kepunahan Organik oleh George Cuvier (1769-1832)

            Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.
            Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang perlu di ketahui, yaitu:
1. Unsur batuan
           Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan pemerian litologi. Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen 5% dan batuan non-sedimen 95%. Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%. Unsur batuan terpenting pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang berlapis-lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan ditinjau dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat dipermudah pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu dengan yang lainnya, yang dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan dengan yang lainnya.
2. Unsur perlapisan
          Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan sedimen dibentuk oleh suatu proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, maka Weimer berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa: 
• Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport, sehingga kemiringan endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih (overlap) yang dibentuk karena tidak seragamnya massa yang diendapkannya.
• Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut terhadap lapisan sedimentasi di bawahnya.
2. 3. STRATIGRAFI PRA-KAMBRIUM
           Di Indonesia, kita terutama hanya banyak bermain di hampir 1,5 % saja episode Bumi bernama zaman Paleogen dan Neogen. Atau, manusia hanya “banyak” tahu di hampir 12 % saja episode Bumi bernama kurun Fanerozoikum, sementara 88 % episode Bumi yaitu sejak penciptannya sampai Kambrium, pengetahuan kita sedikit sekali. Ini adalah cerita tentang yang sedikit sekali itu, pra-Kambrium, yang serbalangka dan serbarumit.
“Studying the Earth becomes increasingly difficult and uncertain the further one goes back in geological time” (Robb et al., 2004)
             Berikut ini adalah uraian singkat tentang stratigrafi pra-Kambrium (pre-Cambrian) berdasarkan beberapa sumber dan bagaimana kabarnya di Indonesia . Nama2 waktu geologi diterjemahkan dari bahasa aslinya mengacu kepada Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980) dan Kamus Istilah Geologi (Purbo-Hadiwidjoyo, 1981)
             Bumi berdasarkan pengetahuan terbaru dibentuk pada 4560 Ma (million years ago) Kambrium dimulai pada 542 Ma (Geologic Time Scale 2004 – Gradstein et al., 2004). Maka, pra-Kambrium berlangsung dari 4560-542 Ma, atau meliputi sekitar 7/8 sejarah Bumi. Sungguhpun demikian, betapa sedikitnya pengetahuan kita tentangnya. Kurun Fanerozoikum (Phanerozoic) 542 Ma-sekarang adalah kurun biostratigrafi, dimulai dengan melimpahnya fosil akibat Cambrian Explosion terus sampai ke zaman Kenozoikum. Pembagiannya ke dalam masa, zaman, kala, dan tingkat (stage, pembagian internasional) adalah didasarkan kepada biostratigrafi. Sementara itu, pembagian waktu pra-Kambrium didasarkan kepada geokronometri isotop-isotop radioaktif pada mineral, batuan, dan kerak yang ditemui. Bisa dipahami sebab kehidupan pada pra-Kambrium sangat minimal dan baru berkembang.

Skala waktu geologi menurut Thomson 
              Seperti telah kita ketahui, secara garis besar waktu geologi dibagi menjadi tiga kurun (eon) : Arkeum (Archean), Proterozoikum, dan Fanerozoikum. Pra-Kambrium bukan istilah stratigrafi normal di dalam Skala Waktu Geologi, ia hanya menunjuk kepada semua batuan dan peristiwa sebelum Kambrium. Pra-Kambrium meliputi Kurun Arkeum dan Kurun Proterozoikum.
Kurangnya fosil yang terawetkan dan tak bervariasi, kurangnya volume singkapan, dan meningkatnya intensitas metamorfisme dan kompleksitas tektonik, dan tidak pastinya konfigurasi serta tataan benua-benua pada saat itu, semuanya telah mengakibatkan penetapan skala waktu kronostratigrafi pra-Kambrium bermasalah. Penetapan skala waktu ini diakui para ahlinya            sebagai pekerjaan yang luar biasa sulit dan membuat frustasi.
               Apa yang terjadi dengan Kurun Fanerozoikum tak terjadi dengan kedua kurun sebelumnya. Kurun Fanerozoikum bersamaan dengan daur superkontinen yang paling baru – urutan-urutan peristiwa geologi yang dapat dipahami dengan baik tentang bagaimana Pangaea tersusun dan terpisah-pisah kembali. Kurun ini juga bersamaan dengan periode ketika kehidupan multisel mengalami diversifikasi dan proliferasi yang luar biasa besarnya. Maka, tak mengherankan bila skala waktu geologi Kurun Fanerozoikum dapat ditetapkan dengan detail, secara global saling berkorelasi, yang metode kronostratigrafinya dikawal dengan ketat oleh data biostratigrafi, isotop, dan magnetostratigrafi.
Meskipun demikian, para ahli pra-Kambrium dengan segala daya upayanya, meskipun penuh kesulitan dan frustasi, berhasil juga menyusun dan merekonstruksi geologi Kurun Arkeum dan Proterozoikum.
           Kurun Arkeum dibagi menjadi empat masa (era) : Eoarkeum (…-3600 Ma), Paleoarkeum (3600-3200 Ma), Mesoarkeum (3200-2800 Ma), dan Neoarkeum (2800-2500 Ma). Tidak ada lagi pembagian lebih lanjut (zaman-period, kala-epoch, tingkat-stage). Batas bawah Arkeum tidak diketahui, batas atasnya 2500 Ma. Arkeum tak punya batas bawah sebab mandala (terrane) geologi yang primitif yang mewakili masa ini masih terus dicari, batuan dan mineral tertua di Bumi masih terus dicari dan umur2 yang telah ditemukan terus bertambah semakin tua. Mineral tertua di Bumi yang pernah ditera (dating) adalah sebuah mineral zirkon hasil rombakan yang berasal dari sampel bernama W74, sebuah metakonglomerat yang tersingkap di wilayah Jack Hill, Australia Barat. Butir zirkon ini menghasilkan umur 4408 +/- 8 Ma berdasarkan geokronologi isotop U-Pb. Di dalam sampel itu juga tercampur mineral2 dengan umur 4100-4300 Ma (Wilde et al., 2001 – Evidence from detrital zircons for the existence of continental crust and oceans on the Earth 4.4 Gyr ago : Nature 409 (6817) p. 175-178).
Meskipun batuan metakonglomerat pengandung zirkon ini jauh lebih muda umurnya, keberadaan zirkon di dalamnya telah menandakan adanya kerak kontinen (yaitu granitik) yang umurnya 150 juta tahun setelah pembentukan Bumi sendiri pada sekitar 4560 Ma. Zirkon adalah mineral paling stabil dan terdapat di dalam granit.
              Batuan paling tua yang pernah ditera sampai saat ini adalah ortogenes Acasta dari Slave Craton di Kanada, yang menghasilkan umur isotop U-Pb 4031 +/- 3 Ma (Bowring dan Williams, 1999 – Priscoan 4.00-4.03 Ga orthogneisses from NW Canada : Contribution to Mineralogy and Petrology, 134 p. 3-16). Sedangkan, segmen kerak Arkeum yang paling tua dan telah terpetakan dengan baik adalah kompleks genes Itsaq (dulu disebut Amitsoq) dan jalur greenstone Isua di Greenland. Ortogenes tertua dari Itsaq berumur 3872 +/- 10 Ma.
Apakah dapat diharapkan ditemukan segmen kerak yang lebih tua dari Itsaq ? Mungkin kecil sebab bombardemen meteor terjadi sangat intensif menyerang Bumi dan Bulan pada sekitar periode ini yang memuncak pada 3900 Ma (Cohen et al., 2000 – Support for the lunar cataclysm hypothesis from lunar meteorite impact melt ages : Science 290 p 1754-6), bombardemen ini bisa menghancurkan kebanyakan kerak Bumi yang sudah ada sebelum 3900 Ma. Batuan dengan umur lebih tua dari 3900 Ma jelas ada, tetapi ada pun terawetkan sangat langka atau telah terdisagregasi sampai sekarang tinggal sebagau xenocrysts atau detritus.
Kurun Proterozoikum bermula pada 2500 Ma dan berakhir pada 542 Ma (batas bawah         Kambrium). Kurun ini dibagi ke dalam tiga masa, dari tua ke muda meliputi Paleoproterozoikum (2500 -1600 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Siderium, Riasium, Orosirium, Staterium); Mesoproterozoikum (1600-1000 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Kalimium, Ektasium, Stenium); dan Neoproterozoikum (1000-542 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Tonium, Kriogenium, Ediakarium).
               Proterozoikum punya potensi biostratigrafi yang lebih baik daripada Arkeum karena hadirnya stromatolit – mikrooraganisme simbiose ganggang dan bakteri yang aktivitas metabolisme dan pertumbuhannya di laut telah menyebabkan penjebakan sedimen, pengikatan, dan pengendapan membentuk struktur2 seperti lapisan, sembulan, atau kubah. Selain stromatolit yang sepanjang Proterozoikum berubah pola dan susunannya bergantung kepada lingkungannya, potensi biostratigrafi Proterozoikum datang dari fosil-fosil eukariotik seperti acritarch (spora alga) yang digunakan untuk mengkorelasikan zaman-zaman di Neoproterozoikum. Fosil paling terkenal pada kurun ini adalah kelompok fosil Ediakara yang muncul pada ujung Proterozoikum memasuki Kambrium sehingga namanya menjadi nama zaman paling terakhir (Ediacaran) di Kurun Proterozoikum. Meskipun demikian, biostratigrafi di sini lebih menunjukkan lingkungannya daripada umurnya.
            Kurun Proterozoikum pun dikenal dengan pernah hadirnya dua superkontinen sebelum Pangaea, yaitu Rodinia pada Mesoproterozoikum dan Pannotia pada Neoproterozoikum. Keberadaan kedua superkontinen ini didasarkan kepada data geokronologi, paleomagnetisme dan penafsiran petro-tektonik.
Bagaimana di Indonesia ? Adakah batuan atau mineral berumur Kurun Arkeum atau Kurun Proterozoikum ? Ada, tetapi sangat langka.
              Peneraan absolut umur tertua di Indonesia berasal dari mineral2 zirkon di dalam batuan volkanik Old Andesite Oligo-Miosen di sebelah selatan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menunjukkan umur 2500-3000 Ma (Mesoarkeum-Neoarkeum) (Smyth et al., 2003, 2005) menggunakan teknik radiometri U-Pb. Ditafsirkan bahwa di bawah Pegunungan Selatan itu terdapat basement Arkeum yang kemudian terlibat dalam partial melting saat subduksi Oligo-Miosen terjadi dan menghasilkan jalur volkanik Old-Andesite. Sebagian material volkanik itu mengandung zirkon Arkeum.
Sebaran umur zirkon ini mirip peneraan umur zirkon dari Perth, yang diduga berasal dari Yilgarn Craton berumur 2500-4200 Ma. Maka, ditafsirkan kemudian bahwa mungkin craton ini pecah lalu sebagian massanya sebagai continental sliver hanyut ke arah Jawa oleh pemekaran Paleo-Tethys (?), dan akhirnya berbentur dengan Sundaland sebelum Tersier, dan pada kala Oligo-Miosen terlibat dalam subduksi yang menghasilkan OAF (Old Andesite Formation).
Boleh-boleh saja berpendapat begitu, tetapi sebelum batuan dan kerak kontinen Pra-Kambrium ditemukan dan ditera di selatan Jawa, saya sulit percaya dengan penafsiran tersebut. Beberapa butir mineral zirkon detrital yang tercampur dalam material volkanik Oligo-Miosen tak serta merta membuktikan bahwa ada mikro-kontinen pra-Kambrium di selatan Jawa, apalagi kita bisa menentukan outline mikro-kontinen ini.
           Lalu, di Kepala Burung Papua, Pieters et al.(1983) pernah menera umur batuan paling tua di Indonesia yaitu berasal dari kerakal granodiorit pada interkalasi metakonglomerat di dalam Formasi Kemum (Silur-Devon) yang menghasilkan umur 1250 Ma (Mesoproterozoikum) menggunaan peneraan K-Ar. Kerakal ini tentu berasal dari suatu batuan induk yang tua juga, tetapi tidak pernah ditemukan di Kepala Burung.
            Seorang teman pernah mengatakan bahwa di Sundaland ada batuan berumur Arkeum. Setahu saya, tak ada batuan bahkan mineral berumur Arkeum di Sundaland. Sundaland adalah Mesozoic continental core of SE Asia. Pentarikhan granit SW Kalimantan (Hamilton, 1979), Malay Peninsula (Liew and Page, 1985), Malay Tin Belt (Cobbing et al., 1986) dan Sumatra (Imtihanah, 2000) tak menghasilkan material berumur Arkeum atau menunjukkan adanya kerak batuandasar berumur Arkeum di wilayah ini. Bukti2 geokimia juga menunjukkan hadirnya basement yang berumur tak lebih tua dari Proterozoikum, seperti di Malay peninsula (contoh Liew & Page, 1985).
            Informasi terbaru tentang umur basement di wilayah Sundaland berasal dari studi sediment provenance analyses sedimen Paleogen di Kalimantan bagian utara yang menggunakan metode U-Pb SHRIMP dating of zircons (van Hattum, 2005). Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa sedimen Paleogen di wilayah ini diinterpretasikan berasal dari erosi Schwaner Granites of SW Kalimantan dan dari Malay Tin Belt (van Hattum, 2005) dan tak mengandung Archean zircons. Artinya adalah bahwa tak ada kerak berumur Archean di bawah Pegunungan Schwaner, Kalimantan atau Malay peninsula.

            Hanya di dua tempat di Indonesia kita mempunyai sampel berumur pra-Kambrium : mineral zirkon di selatan Jawa berumur 2500-3000 Ma dan granodiorit di Kepala Burung berumur 1250 Ma. Memang, geologi pra-Kambrium berarti kelangkaan dan kesulitan

2. 4. PERKEMBANGAN KLASIFIKASI STRATIGRAFI 

2.4.1. International Stratigraphic Guides, 1994 dan International Subcommission for Stratigraphic Classification. (R.P.Koesoemadinata)

1. Perkembangan klasifikasi stratigrafi dalam dunia internasional memperlihatkan kecenderungan untuk memisahkan kategori klasifikasi deskriptif dan interpretatif. Stratigrafi didasarkan padafakta yang terlihat di lapangan dan tidak secara interpretatif.
2. Penamaan satuan yang bersifat interpretatif sebaiknya dihindari, satuan tersebut dinyatakan sebagai satuan tidak resmi (contoh: Seismik Stratigrafi, Sikuen Stratigrafi).
3. Kategori deskriptif dibatasi pada kriteria litologi dan kandungan fosilnya, sedangkan criteria sifat-sifat fisik, kimia cenderung hanya dibatasi pada sifat yang dapat menentukan waktu atau umur , seperti paleomagnetic polarity. Satuan berdasarkan karakteristik log, penampang seismik tidak dapat dinyatakan sebagai satuan resmi, walaupun diakui keberadaannya
4. Kategori yang bersifat interpretatif : penafsirannya dibatasi pada hal-hal yang menyangkut waktu/ umur. Kategori satuan stratigrafi yang bersifat interpretative seperti lithogenetic units, satuan lingkungan pengendapan, cyclothems tidak dapat diterima sebagai satuan stratigrafi resmi
5. Keberadaan satuan tidak resmi dapat diakui walaupun sangat tidak dianjurkan

2.4.2. Permasalahan Stratigrafi Nasional Sekarang

1. Pada kebanyakan makalah dalam publikasi IPA, IAGI menggunakan nama tidak resmi, karena penulis umumnya tidak sanggup mengajukannya secara resmi, karena peraturannya sangat banyak. Hal tersebut mendorong semakin banyaknya satuan tidak resmi terutama dalam kalangan industri.
2. Tidak konsisten dalam penamaan formasi. Dalam satu cekungan dinamai 2 atau 3 nama satuan resmi oleh peneliti yang berbeda.
3. Pada cekungan yang berbeda (yang lain), masih ada pemeta yang menggunakan nama formasi yang sama dengan cekungan di tempat lain.
4. Penyusunan satuan stratigrafi gunungapi dalam SSI, didasarkan pada genesa bukan secara diskriptif. Pembagian secara genesa tersebut mengakibatkan hanya berlaku untuk gunungapi Kuarter yang masih terlihat bentuk-bentuknya.
5. Konsep stratigrafi tradisional masih lebih banyak digunakan, walaupun secara eksplisit. Sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996.
6. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 mengandung pembagian satuan yang bersifat diskriptif dangenetik. Hal ini berarti tidak mengidahkan anjuran dari International Stratigraphic Guides, 1994

2.4.3. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (soejono martodjojo)

Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud keprihatinan terhadap tidak adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem penamaan dalam pemetaan gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan kegiatan dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-1996, seperti Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft dari para pengusul atas satuan tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya. Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di Indonesia bagi masing-masing satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat literatur resmi, tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan diluaskan sehingga mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan Stratigrafi perlu menjadi bahan pertimbangan

2.4.4. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi Stratigrafi Indonesia. (Djuhaeni)

SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam Sandi Stratigrafi Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik, Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
1. SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
2. SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik, Gunung api, Sikuenstratigrafi.
            Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan Litodemik dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah yang berbeda dengan Hukum Superposisi, terutama hubungan kontak dan pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-pakar mineral untuk berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun aplikasinya di Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu dikembangkan, dan disesuaikan dengan perkembangan penerapannya di Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya untuk keperluan korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan lebih lanjut., sesuai perkembangan konsep dan penerapannya di Indonesia.
           Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan Satuan Stratigrafi Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996 setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang mendapat perhatian. 
Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era
1. Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu, dan penamaannya diikuti oleh kata “series" atau "beds", sebagai contoh Halang Series, Cidadap Beds.
2. Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi Formasi Halang.
3. Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok, munculnya Satuan “Sikuenstratigrafi” dan Satuan “Tektonostratigrafi”.
              Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan stratigrafi menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi dan pelamparannya : Formasi Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung 11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian waktunya. Akan membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
             Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak terbatas "dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem "terlalu banyak nama-nama satuan litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu formasi itu", sebagai contoh Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat bagian Utara (NW Java Basin).
              Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu kepada "Sandi Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-IAGI sangat tidak diharapkan untuk dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan kepada Komisi SSI-IAGI, untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
               Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan stratigrafi, Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan stratigrafi yang ada di Indonesia, dan mendokumentasikan di dalam bentuk "Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan, penambahan, dan lainnya, sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI, IAGI. Pembahasannya dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
             Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia, diharapkan SSI selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada setiap waktu.

Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencanapenerbitan Leksikon Stratigrafi Indonesia

1. Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
2. Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini, menghasilkan nama satuan stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik resmi ataupun tidak resmi.
3. Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-kaidah SSI, seperti perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda untuk satuan batuan yang sama.
4. Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini menghasilakan lebih dari 2000 nama satuan batuan di Indonesia.
5. Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan oleh Puslitbang Geologi dengan tahapan pertama menerapkan litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
6. Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan, umur, nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil, hubungan stratigrafi, ketebalan, penyebaran, lingkungan pengendapan, tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta dilengkapi dengan peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
7. Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu sistem informasi geologi

2.4.5. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)

Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi di Indonesia :
1. Kendala Lingkup Penerapan
           Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi Kuarter dan aktif dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunungapi.
2. Kendala Pendidikan Dasar Geologi
       Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi geologi Indonesia yang berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur magma dan gunungapi, menyebabkan pemahaman ilmu gunungapi sangat minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi semakin sulit untuk dipelajari.
3. Kendala Kesampaian Medan
       Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan keengganan para ahli geologi untuk melakukan penelitian di daerah gunungapi.
4. Kendala Atmosfer Penelitian
         Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi yang menyangkut ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung berorientasi ke ekonomi.
Adanya kendala-kendala tersebut “ Para ahli geologi Indonesia semakin tidak memahami kondisi geologinya sendiri”. Di masa mendatang, sangat mungkin ahli geologi luar negeri akan menjadi lebih tahu geologi gunungapi Indonesia dan lebih mampu/ cepat memanfaatkan potensi sumber daya geologi Indonesia daripada ‘tuan rumah’nya. Akhirnya kita hanya akan menjadi penonton/ pelayan di negaranya sendiri. Apakah kita ingin seperti itu nantinya?

Usaha Penyelesaian

1. Mendorong iklim penelitian pemanfaatan sumber daya gunungapi yang diawali dengan penelitian-penelitian dasar geologi gunungapi,
2. Memperluas lingkup penerapan satuan stratigrafi gunungapi hingga batuan berumur Tersier atau yang lebih tua.
3. Mengubah secara bertahap bahan pendidikan dan pengajaran geologi disesuaikan dengan kondisi geologi Indonesia, serta
4. Memperkenalkan dasar-dasar geologi Indonesia kepada guru dan anak didik sejak pendidikan dasar hingga menengah atas.
Posisi Sikuenstratigrafi Di Dalam SSI 1996. Beberapa Persoalan Yang Timbul. (Wartono Rahardjo)
          Konsep Sikuenstratigrafi telah banyak diterapkan dan terbukti mampu memecahkan sejumlah masalah eksplorasi / produksi pada industri minyak dan gas bumi.
Pendekatan
            Analisis stratigrafi dengan pendekatan Litostratigrafi prinsipnya berdasarkan pemerian lapisan yang diamati. Penafsiran didasarkan atas kriteria yang teramati, yang sekaligus menjadi pembatas dari penafsiran tersebut. Kriteria tersebut bisa bersifat litologi (Litostratigrafi), fosil (Biostratigrafi) atau kombinasi keduanya sehingga muncul satuan Kronostratigrafi dan Geokronologi.
         Analisis Sikuenstratigrafi mulanya juga bersifat deskriptif seperti pada Litostratigrafi namunkemudian telah berkembang menjadi ilmu yang sangat deterministik bahkan bersifat prediktif.

Beberapa Perubahan Pada Konsep Dasar

           Ada beberapa konsep dasar Litostratigrafi yang tidak sesuai lagi bila diterapkan dalam pembahasan Sikuenstratigrafi, sehingga perlu pandangan baru dalam pemahaman konsep-konsep dasar yang ada di dalam Litostratigrafi.
Permasalahan Sikuenstratigrafi dalam SSI 1996
            Secara eksplisit sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996, namun dalam praktek belum banyak digunakan, terutama pada penelitian geologi permukaan. Konsep stratigrafi tradisionil masih lebih banyak digunakan.

Kesimpulan

1. Pendekatan Sikuenstratigrafi yang berakar dari Seismikstratigrafi secara nyata telah membenarkan hasil yang lebih baik dalam penafsiran stratigrafi detail daripada pendekatan stratigrafi konvensional..
2. Banyak praktisi geologi non stratigrafi menjadi ketakutan dan enggan mendalami Sikuenstratigrafi karena banyaknya istilah baru yang khas Sikuenstratigrafi.
3. Keberadaan ketidakselarasan dalam berbagai ujudnya sangat penting dalam Sikuenstratigrafi tetapi masih kurang diperhatikan peranannya pada satuan stratigrafi yang lain, terutama pada satuan Litostratigrafi.
4. Saran yang dapat diajukan sebagai akibat dari diakuinya Satuan Sikuenstratigrafi adalah perbaikan dalam pendefinisian dari korelasi (pasal 7 SSI 1996) serta penambahan pasal tentang ketidakselarasan
2.4.6. Litostratigrafi vs Biostratigrafi Di Cekungan Kutai Hilir: Masukan Bagi Penyempurnaan SSI’96. (Andang Bachtiar)
                   Perlunya tinjauan ulang penggunaan litostratigrafi untuk menerangkan stratigrafi endapan delta di semua cekungan di Indonesia, terutama apabila dimensi deltanya ekivalen dengan Delta Mahakam purba. Hal ini menjadi sangat penting karena keragaman fasies litologi endapan delta, baik secara lateral/ vertikal yang diakibatkan oleh proses naik-turunnya muka air laut relatif dapat sangat ekstrim, yaitu dari dominan batupasir fluvial sampai ke endapan laut dalam, sehingga satu penamaan formasi saja tidak cukup untuk memerikan stratigrafinya.
2.4.7. Kontribusi Seismik Stratigrafi pada Pembenahan “Satuan Resmi Bawah Permukaan” Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (Awang H. Satyana & Brahmantyo K. Gunawan)
1. SSI 1973 dan 1996, kurang mengakomodasi masalah stratigrafi bawah permukaan.
2. SSI 1996 telah memuat Satuan Sekuen Stratigrafi, tetapi belum berdasarkan kepada data bawah permukaan khususnya data seismik.

2. 5. POLA SEBARAN FORAMINIFERA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STRATIGRAFI SIKUEN (Studi kasus: Daerah Blora dan sekitarnya/daerah lintang rendah) 

             Berkembangya konsep stratigrafi sikuen akhir-akhir ini (Vail, 1987, van Wagoner dkk., 1988 dan Haq, 1991) telah mengakibatkan perubahan yang revolusioner dalam pemikiran stratigrafi. Secara hipotesis, biostratigrafi (foraminifera) dapat mengidentifikasi sikuen dan komponen sikuen itu sendiri bilamana data yang lain tidak meyakinkan (van Gorsel, 1988).
Stratigrafi sikuen adalah metode pendekatan yang multidisiplin serta berorientasi pada sejumlah proses untuk menginterpretasi paket sedimen. Paket sedimen tersebut diberi nama sikuen dan dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang kemenerusannya yang selaras dan bersifat regional. Secara teknis, konsep ini bertujuan mengelompokkan urutan susunan batuan sedimen ke dalam suatu sikuen yang didasarkan pada kronologi sebagai pembatas selang genesanya (Vail, dkk, 1984, Vail, 1987, dalam Djuhaeni, 1996). 
           Istilah sikuen menunjuk pada sikuen orde 3 yang menurut Vail (1992, dalam Handford, 1997) mempunyai selang waktu 0,5 - 3,0 juta tahun. Sikuen tersebut diakibatkan oleh glacio-eustatic change dan tektonik lokal ataupun regional. Mitchum dan van Wagoner (1991) menyatakan bahwa sikuen mempunyai pola tumpukan sedimen (stacking pattern) dan merupakan bukti dari adanya siklus high-frequency eustatic. Sikuen tersebut tersusun atas komponen sikuen (depositional system track: lowstand system track/LST, transgressive system track/TST dan high system track/HST) sebagai respons akibat perubahan muka air laut relatif (Posamentier dan Vail, 1988; van Wagoner dkk., 1988).
             Interpretasi stratigrafi sikuen dan komponen sikuennya serta horison seperti batas sikuen (SB), bidang transgresi (TS), bidang maximum flooding surface (MFS), dan condensed section (C) memerlukan pemahaman akan hubungan stratigrafi, umur, batimetri, dan fasies. Dengan demikian, terlihat ada beberapa aspek yang melibatkan biostratigrafi dalam mengevaluasi stratigrafi sikuen.

2.5.1. Material dan metode

             Daerah penelitian berada di Cekungan Jawa Timur Utara (Blora, daerah lintang rendah,). Stratigrafi sikuennya sudah dikaji secara rinci oleh Djuhaeni (1994). Sebanyak 101 contoh dari 6 unit sikuen pada empat buah penampang stratigrafi telah diambil. Pengambilan contoh batuan di lapangan dilakukan pada tiap batas komponen sikuen dan selang di antaranya. Semua contoh batuan yang didapat diproses dengan prosedur yang sama. Contoh batuan yang tidak kompak di cuci sebanyak 10 gram berat kering, sedangkan yang sangat kompak disayat tipis. Teknik penghitungan, metode preparasi, dan hitungan set fosil dilakukan secara konsisten pada seluruh contoh yang dianalisis, secara kuantitatif.
           Taksonomi foraminifera mengikuti Loeblich & Tappan (1964), sedangkan referensi untuk spesies planktonik dan zonasinya mengikuti Bolli dkk. (1985). Identifikasi spesies bentonik berdasarkan antara lain Barker (1960) dan Adam (1984). Selain menggunakan konsep datum, penentuan umur relatif juga dibantu oleh pola perubahan putaran spesies tertentu (Bolli dkk.,1985). Sementara itu foraminifera besar mengikuti Adam (1970, 1984). Data ekologi genus atau spesies foraminifera dan asosiasi untuk tiap zona batimetri didasarkan pada berbagai sumber seperti Rauwenda dkk. (1984), Murray (1991), Biswash (1976), Hottinger (1983), dan Bilman dkk. (1980). Model batimetri untuk lingkungan pengendapan laut mengikuti model yang digunakan oleh Rauwenda dkk. (1984). Analisis iklim menggunakan metode whole fauna dengan referensi spesies dari Boltovskoy & Wright (1976) dan Be’ & Tolderlund (1971, dalam Haynes, 1981). Salinitas ditafsirkan dari perbandingan Globigerinoides sacculifer/Gs. ruber seperti yang digunakan oleh Berggren & Boersma (1969, dalam Boltovskoy & Wright, 1976). Beberapa parameter dicoba diterapkan untuk melihat pola sebaran foraminifera yang dapat membantu analisis stratigrafi sikuen, yaitu kelimpahan, keragaman, bioevent, biofasies, dan kompisisi fauna.

2.5.2. Pola sebaran/karakteristik foraminifera dalam stratigrafi sikuen

          Umur, lingkungan pengendapan, dan iklim purba dari contoh yang dianalisis terlihat pada Gambar 3 sampai dengan 6. Gambar 7 sampai dengan 10 adalah kurva kelimpahan (total, bentonik, planktonik), keragaman (jumlah total species, Yule-Simpson indeks, planktonik, bentonik), dan komposisi foraminifera. Berikut akan dibahas pola atau karakteristik foraminifera pada setiap komponen sikuen dan bidang-bidang batasnya

2.5.3. Batas sikuen

            Sebanyak 7 batas sikuen, yaitu SB2, SB3, SB4, SB5, ?SB6, SB8, dan SB9 telah dianalisis. SB2, SB3, SB8, dan SB9 secara fisik di lapangan dicirikan oleh bidang erosional. Hampir semua batas sikuen dicirikan oleh penurunan batimetri secara tiba-tiba, kecuali SB5 dan ?SB6 di lintasan Kali Ledok. Batas tersebut dari hasil analisis foraminifera tidak menunjukkan adanya perubahan batimetri. Pada batas sikuen SB6, meskipun batimetri tidak menunjukkan perubahan, terlihat ada sedikit perubahan pada iklim, kelimpahan dan keragaman total, serta foram planktonik dan bentonik. Batas sikuen juga bersesuaian dengan perubahan iklim (SB8) dari panas ke dingin serta adanya zona biostratigrafi yang hilang. Beberapa batas sikuen dicirikan oleh hadir atau meningkatnya fauna rombakan dan percampuran fauna fasies laut dangkal dan dalam. Hal ini diikuti oleh perubahan batimetri dan/atau ekologi (salinitas), iklim dari panas ke dingin (SB2, SB8, SB9), dan perubahan pH (SB3). Pada Gambar 7 sampai dengan 10 terlihat bahwa keragaman dan, kelimpahan total maupun kelompok foraminifera tidak menunjukkan pola yang konsisten; pola yang dijumpai sangat tergantung pada jenis batuan dan kondisi ekologi lingkungan pengendapannya. Meskipun demikian, terlihat bahwa bila kondisinya sama-sama laut terbuka, batas sikuen dicirikan oleh penurunan kelimpahan totalnya (SB4, SB5, ?SB6, SB8 dan SB9). Beberapa batas sikuen juga dicirikan oleh perubahan komposisi fauna secara mencolok dengan tiba-tiba (SB2 dan SB3).

2.5.4. Lowstand System Track (LST)

            Sebanyak 5 selang endapan LST, yaitu LST dari Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10 telah dianalisis. Adanya fosil rombakan yang sukar dipisahkan dengan yang in situ pada endapan LST Sikuen 3 dan 10 membuat pola keragaman dan kelimpahan yang sebenarnya sulit diketahui. Selang LST Sikuen 7 (Gambar 9) memperlihatkan pola penurunan keragaman, baik dalam jumlah specien maupun indeks Yule-Simpson serta keragaman bentonik dan planktoniknya. Sementara itu, LST Sikuen 4 (Gambar 7) juga memperlihatkan penurunan keragaman dan kelimpahan, tetapi LST Sikuen 5 (Gambar 8) menunjukkan hal yang sebaliknya. 
           Pembahasan di atas menunjukkan bahwa pola keragaman dan kelimpahan tidak konsisten. Secara umum, endapan LST dicirikan oleh hadirnya fauna rombakan yang relatif banyak dan percampuran bentonik laut dangkal dan dalam. Biofasies pada endapan LST yang dianalisis pada laut dangkal menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada HST unit sikuen di bawahnya, sedangkan yang pada laut yang relatif dalam (SB5 & ?SB 6) tidak selalu menunjukkan pendangkalan batimetri.

2.5.5. Transgressive System Track (TST)

           Sebanyak 5 selang endapan TST, yaitu TST dari Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10 telah dianalisis. Selang TST memperlihatkan kecenderungan naiknya kelimpahan total, meskipun pada TST Sikuen 9 pola tersebut tidak begitu tampak karena sulit memisahkan fauna rombakan dan fauna in situ. Pada laut dangkal (TST Sikuen 3 dan 10) terlihat bahwa kelimpahan total bentoniknya meningkat, sedangkan pada laut dalam (TST Sikuen 7 dan 9), kelimpahan dan keragaman planktoniknya yang tampak meningkat. Analisis biofasies menunjukkan bahwa asosiasi faunanya makin ke atas makin menunjukkan lingkungan yang makin mendalam, dan mencapai maksimum kedalaman di sekitar batas antara TST dan HST. Hal ini tampak jelas terutama pada daerah laut dangkal. Parameter lain tidak menunjukkan pola tertentu.

2.5.6. Highstand System Track (HST)

           Empat selang HST telah dianalisis, yaitu HST Sikuen 3, 5, 7, dan 9. Selang HST tersebut memperlihatkan karakteristik biofasies yang hampir sama, yaitu makin ke atas makin menunjukkan pendangkalan batimetri (HST Sikuen 3, 7, dan 9); hanya Sikuen 5 yang tidak menunjukkan perubahan batimetri. Kelimpahan dan keragaman jumlah spesies, indeks Yule-Simpson, planktonik dan bentonik, dan komposisi fauna, tidak menunjukkan pola perubahan yang konsisten. Sikuen 3 dan 7 memperlihatkan keragaman yang menurun ke arah atas, sedangkan Sikuen 5 menunjukkan kecenderungan naik ke arah atas. Pada Sikuen 9 terlihat menurun, kemudian berfluktuasi, dan meningkat lagi di akhir selang. Kelimpahan total umumnya mempunyai pola yang berfluktuasi. 

2.5.7. Transgressive Surface (TS)

           Sebanyak 5 bidang TS telah dianalisis, yaitu bidang TS Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10. Bidang TS Sikuen 3, 4, 5, dan 10 berada pada lingkungan laut relatif dangkal dan dicirikan oleh perubahan batimetri (kecuali Sikuen 5). Di atas bidang TS tampak lingkungan pengendapan yang relatif lebih dalam daripada yang di bawahnya. Sikuen 7 berada pada laut yang relatif dalam dan tidak menunjukkan perubahan batimetri. Keragaman, kelimpahan, dan komposisi fauna tidak menunjukkan pola yang konsisten.

2.5.8. MFS (Maximum Flooding Surface)

              Lima bidang MFS telah dianalisis, yaitu MFS Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10. Bidang MFS Sikuen 5, 7, 9, dan 10 berasosiasi dengan condensed section. Pada bidang MFS yang berasosiasi dengan condensed section tampak bahwa kelimpahan dan/atau keragaman yang relatif tinggi berada tepat di bawah bidang MFS dan hanya pada Sikuen 5 yang tidak. Sementara itu, yang tidak berasosiasi dengan condensed section, maksimum kelimpahan dan/atau keragamannya berada di atas bidang MFS. Meskipun dalam satu sikuen terdapat nilai keragaman dan/atau kelimpahan yang hampir sama atau lebih tinggi (TST Sikuen 9 dan LST Sikuen 3), hal tersebut dapat dibedakan dari yang berasosiasi dengan bidang MFS. Nilai yang tinggi tersebut diakibatkan oleh adanya fauna rombakan yang sebagian sulit dipisahkan dengan yang in situ. Bidang MFS juga tampak berasosiasi dengan maksimum kedalaman di dalam satu sikuen. Hal tersebut terefleksi pada asosiasi biofasiesnya. Pada laut dangkal, hal tersebut terlihat dari pemunculan fauna yang relatif lebih dalam dibandingkan dengan yang di atas atau di bawahnya, sedangkan pada laut dalam, tampak dari tingginya kelimpahan dan/atau keragaman total.
Condensed section
               Empat condensed section telah dianalisis dalam studi ini. Tiga condensed section (Sikuen 7, 9, dan 10) mempunyai karakteristik foraminifera yang sama, yaitu mempunyai nilai kelimpahan planktonik atau bentonik yang tinggi di dalam satu sikuen, tetapi condensed section Sikuen 5 tidak menunjukkan hal yang sama. Selain hal di atas, condensed section juga berasosiasi dengan biofasies yang menunjukkan lingkungan relatif paling dalam dari satu unit sikuen. Pada penelitian ini terlihat bahwa semua condensed section tersebut diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan salinitas normal.

2.5.9. Pemodelan

Berdasarkan model stratigrafi sikuen yang dibuat oleh Vail dkk. (1987), dan hasil analisis pada penelitian ini, dibuat model biostratigrafi dalam hubungannya dengan stratigrafi sikuen. Model tersebut (Gambar 11) menggambarkan perubahan batimetri, ekologi, dan iklim purba pada sikuen dan komponennya yang disusun berdasarkan data biofasiesnya. Horison-horison yang ada pada sikuen disusun berdasarkan perubahan pada biofasies dan bioevent, termasuk di dalamnya karakteristik kelimpahan dan keragaman

2. 6. PENAMPANG STRATIGRAFI 

Definisi
Penampang stratigrafi terukur (measured stratigraphic section) adalah suatu penampang atau kolom yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu jalur, yang secara sengaja telah dipilih dan telah diukur untuk mewakili daerah tempat dilakukannya pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut dapat meliputi satu formasi batuan atau lebih
         Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi, sehingga hanya meliputi satu atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi, misalnya anggota atau bahkan hanya beberapa perlapisan saja 
Tujuan:
1. Keterangan litologi terperinci yang menyangkut tentang jenis, macam, komponen penyusun, tekstur, kemas, kandungan fosil, struktur sedimen dan lain-lain sifat geologis dari setiap satuan yang terdapat pada jalur tersebut.
2. Kedudukan dan ketebalan dari setiap litologi yang dijumpai.
3. Urutan dari semua litologi yang ada serta jenis hubungan dari dua litologi yang berdampingan, apakah selaras, tidak selaras, menyisip, selang seling, bergradasi normal atau terbalik dan lain sebagainya 

Kolom stratigrafi yang diperoleh dari jalur yang diukur siap dijadikan dasar untuk :

1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun informal, yang dalam peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak, sehingga akan meningkatkan ketepatan dari pemetaan geologi yang dilakukan di tempat dimana dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom tersebut serta sejarah geologi sepanjang waktu pembentukan kolom tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk wilayah tersebut.
5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari seluruh satuan yang ada ataupun sebagian dari satuan yang terpilih, misalnya saja :
a. lapisan batupasir yang potensial sebagai reservoir.
b. lapisan batubara.
c. lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.
Ada dua metoda yang biasa dilakukan dalam usaha pengukuran jalur stratigrafi. Metoda tersebut adalah :
• Metoda rentang tali.
• Metoda tongkat Jacob (Jacob’s staff method). 
Metoda rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metoda Brunton and tape (Compton, 1985; Fritz & Moore, 1988) 
“dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran panjang. Semua jarak dan ketebalan diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan metoda ini akan langsung menghasilkan ketebalan sesungguhnya hanya apabila dipenuhi syarat sebagai berikut”:
• Arah rentangan tali tegak lurus pada jalur perlapisan. 
• Arah kelerengan dari tebing atau rentangan tali tegak lurus pada arah kemiringan.
Diantara 2 ujung rentangan tali tidak ada perubahan jurus maupun kemiringan