Jumat, 22 Mei 2009

Batuan Beku

Batuan Beku

Batuan beku adalah batuan yang terbentuk secara langsung dari proses pembekuan magma, baik didalam bumi maupun diatas permukaan bumi.

Ciri khas batuan beku adalah kenampakannya yang kristalin, yaitu kenampakan suatu massa dari unit – unit kristal yang saling mengunci kecuali yang non kristalin.

Proses pembekuan magma akan menghasilkan kristal – kristal primer ataupun gelasan, yang mana apabila saat itu terdapat cukup energi pembentukan kristal maka akan terbentuk kristal – kristal mineral ukuran besar. Sedangkan bila energi pembentukannya rendah akan terbentuk kristal yang ukurannya sangat halus. Bila pendinginan berlangsung sangat cepat maka kristal tidak akan terbentuk dan cairan magma yang membeku akan menjadi gelas.

Setiap mineral memiliki kondisi tertentu pada saat mengkeristal. Mineral – mineral mafic pada umumnya mengkeristal pada suhu yang relative tinggi, sebaliknya mineral – mineral felsic pada umumnya mengkeristal pada suhu yang relative rendah.

Batuan beku merupakan kumpulan mineral – mineral silika yang mengkeristal. Selama kristalisasi berlangsung selalu ada kecendrungan untuk mempertahankan keseimbangan antara fase padat dan fase cair. Dalam hal ini kristal yang mula – mula terbentuk akan bereaksi dengan cairan, sehingga berubah komposisinya. Reaksi ini terjadi secara terus – menerus pada kristalisasi mineral – mineral plagioklas (mulai mineral basa sampai mineral asam). Reaksi ini disebut “continuous reation series” dipihak lain terjadi secara tiba – tiba pada temperature tertentu, dalam kristalisasi mineral – mineral ferromagnesium (mafic mineral) disebut “discontinuous reaction series”.






Gambar 3.1 Diagram Bown Reaction Series

3. 2. Sifat – Sifat Mineral Penyusun Batuan Beku
Berdasarkan sifat – sifat mineral penyusun batuan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Mineral Utama
Mineral utama adalah mineral – mineral primer yang selalu terdapat dalam satu batuan tertentu dan merupakan yang dominan untuk batuan tersebut.

2. Mineral Sekuder
Mineral sekunder adalah mineral yang terdapat cukup banyak dalam satu batuan beku tetapi tidak selalu seperti halnya mineral primer (utama). Mineral sekunder ini sering juga disebut mineral pelengkap (accessory mineral).

3. Mineral Tambahan (Minor Accesory Mineral)
mineral tambahan adalah merupakan mineral yang terdapat dalam suatu batuan beku yang jumlahnya tidak begitu banyak, kira – kira lebih kecil dari 5 % dari volume batuan. Contoh : apatitie, magnetite, zircon dan lain – lain.


3. 3. Deskripsi Batuan Beku
1. Warna
Warna adalah warna mineral yang dapat di tangkap dan dilihat oleh mata tanpa menggunakan alat bantu. Atau,

2. Jenis Batuan
a. Klasifikasi berdasarkan sifat kimia dan komposisi mineralnya, meliputi :
1. Batuan Beku Asam
Batuan beku yang mengandung unsur silika lebih dari 66 %, umunya berwarna terang. Contoh : granite, apatite, dan lain – lain.

2. Batuan Beku Intermediet.
Batuan ini mengandung mineral silika antara 52 % - 66 % batuan biasanya berwarna terang hingga agak gelap. Contoh : diorite, andesit dan lain – lain.

3. Batuan Beku Basa.
Adalah batuan beku yang komposisi silikanya anatar 45 % - 52 % kaya akan mineral kalsit plagioklas dan mafik mineral. Warnanya gelap / buram sampai kehitaman. Contoh : gabro, basalt dan lain – lain.

4. Batuan beku ultra basa
Jenis batuan beku ini mengandung unsur silika kurang dari 45 %, biasanya berwarna hitam sampai hijau.

3. Struktur Batuan Beku
Struktur batuan beku adalah merupakan kenampakkan atau bentuk dan Susunan dari batuan beku.
Struktur batuan beku meliputi :
a. Struktur masif / kompak
Struktur masif adalah susunan mineral yang kompak, tidak menunjukkan adanya pori – pori, penjajarn mineral / bentuk aliran dan bersifat pejal.

b. Struktur jointing
yaitu struktur batuan yang memperlihatkan retakan – retakan.

c. Vesikuler
Yaitu struktur yang memperlihatkan adanya lubang – lubang akibat pelepasan gelembung – gelembung gas dari magma. Vesikuler ini terbagi dalam beberapa bagian yaitu :
• Vesicle yaitu struktur yang memperlihatkan lubang – lubang yang menyudut.
• Scorian yaitu struktur yang sangat berpori dan tidak teratur dalam masa dasar gelas.
• Pumis yaitu struktur buih dengan lubang – lubang memanjang yang menunjukkan arah aliran buih.

d. Flow
yaitu struktur yang orientasinya sejajar dengan baik oleh kristal maupun oleh lubang – lubang gas.

e. Amigdaloidal
yaitu struktur yang menampakan adanya lubang – lubang gas pada batuan yang terisi oleh mineral - mineral sekunder yang terbentuk setelah pembentukkan magma.

4. Tekstur Batuan Beku
Tekstur batuan beku adalah hubungan antara mineral – mineral yang satu dengan yang lainnya dalam suatu batuan yang meliputi hubungan antara kristalisasi, granulitas dan fabric (kemas).

a. Derajat Kristalitas
Derajat kristalitas atau derajat kristalisasi adalah tingkat kristalisasi mineral dalam suatu batuan. Tingkat kristalisasi pada batuan beku tergantung pada proses pembekuan magma itu sendiri.
Tingkat – tingkat kristalisasi antara lain :
1. Holokristalin
Holokristalin adalah bila seluruh batuan tersusun oleh kristal – kristal mineral.

2. Hipokristalin
Hipokristalin adalah bila batuan beku terdiri dari sebagian kristal dan sebagian yang lain adalah gelas.
3. Holohialin
Holohialin adalah bila seluruh batuan beku tersusun oleh mineral gelas.

b. Granulitas (Ukuran Butir Mineral)
Granulitas adalah derajat besar butir mineral penyusun batuan. Granulitas meliputi :
1. Fanerik
Fanerik adalah kristal dari mineral penysunya tampak jelas dan dapat dibedakan dengan mata dapat juga dengan bantuan luve.
Fanerik dibedakan menjadi :
• Butiran kasar (> 5 mm).
• Butiran sedang (1 – 5 mm).
• Butiran halus (< 5 mm).

2. Afanitik
Afanitik adalah kristal – kristal dari mineral penyusunnya sangat halus sehingga tidak dapat dibedakan dengan mata secara langsung jadi harus menggunakan alat bantu luve atau mikroskop.
i. Mikrokristalin yaitu bila butiran sangat kecil (analisa menggunakan mikroskop).
ii. Kriptokristalin yaitu bila ukuran butirnya labih halus dari mikrokristalin (analisa menggunakan scanning , sinar x).
iii. Amorfus / nonkristalin yaitu bila mineral disusun oleh gelas secara keseluruhan.

c. Kemas (Fabrik)
Kemas adalah hubungan antar kristal – kristal atau susunan antar kristal – kristal yang satu dengan lainnya. Fabric meliputi :
1. Bentuk kristal
• Euhedral yaitu bentuk kristal sempurna dan dibatasi oleh bidang – bidang kristal yang jelas.
• Subhedral yaitu apabila bentuk tidak sempurna dan hanya sebagian saja yang dibatasi oleh bidang- bidang kristal yang jelas atau kombinasi dari bentuk baik dengan bentuk tidak teratur.
• Anhedral yaitu apabila bentuk bidang batas dari kristal tidak teratur atau tidak jelas.

d. Relasi
Relasi yaitu hubungan antar butir kristal – kristal yang satu dengan yang lainya, relasi meliputi :
• Equigranular yaitu ukuran butir kristal yang menyusun batuan hampir sama besar atau relatif seragam.
• Inequigranular adalah ukuran butir kristal penyusun batuan tidak sama besar.

5. Komposisi Mineral
Mineral – Mineral Pembentuk / Penyusun Batuan
Pada batuan beku ada delapan mineral yang umum dijumpai sebagai penyusun batuan beku, biasanya disebut sebagai mineral batuan beku (igneous mineral) dan dapat dibedakan menjadi kelompok, yaitu :
1. Mineral yang tersusun dari unsur silika dan alumina, umunya berwarna cerah (felsik).
contoh mineral :
• Kwarsa
mineral kwarsa mempunyai rumus kimia sio2, berwarna jernih, putih buram dan lain – lainnya. Mengkristal pada system hexagonal, kekerasan 7, umumnya bentuk kristal tidak baik (anhedral), dan mempunyai kilap seperti kaca.
• Feldspar
dibagi dua bagian, yaitu :
1. Potash feldspar
Terdiri dari mineral orthoklas, mikrolin, sanidin, adularia, dan anorthoklas, berwarna merah pucat, putih merah daging, dan abu – abu. Belahannya baik 2 arah kekerasan 6.
2. Plagioklas
Berwarna putih, abu – abu dan lain – lain. Belahan baik 2 arah, kekerasan 6. Mineral ini terdiri dari kalsit plagioklas (anorit, bitownite, labradorit, andesine) dan sedikit plagioklas (albite, oligoklas dan andesine).
• Feldspartoid (foida)
pengganti mineral feldspar, karena terbentuk pada kondisi dimana si o2 kurang. Mineral ini terdiri dari leukosit, nefelin, sodolite dan nosolite serta hauynite. Berwarna putih atau abu – abu kebiruan, kekerasan 6.
• Mika (glimmer)
terdiri dari muscovite (putih jernih), plagotit, (coklat), kekerasan 1 – 2, belahan 1 arah.
2 Mineral yang tersusun dari unsur besi, magnesium, dan kalsium, berwarna cerah (mafic).
• Olivin
Berwarna hijau, kuning kecoklatan, kristal berbutir seperti gula pasir, kekerasan 6 – 7.
• Amphibole
Merupakan mineral terbentuk prismatik panjang bersisi enam, warna hijau kehitaman, belahan 2 arah, kekerasan 5 – 6 dan yang terpenting dari golongan ini adal;ah hornblende.
• Pyroxene
Warna coklat hingga hitam, kekerasan 5 - 6 terdiri dari mineral enstatite, hypersten, diopsite dan augit, belahan 2 arah.
• Biotite
berwarna hitam, dan tampak seperti lembaran.
Untuk mengetahui kekerasan suatu mineral maka dipakai mineral mineral standart pada skala mohs sebagai berikut :
3. Talk
4. Gypsum
5. Kalsit
6. Fluorite
7. Apatite
8. Arthoklas
9. Kwarsa
10. Topas
11. Korundum
12. Diamond atau intan.

7. Genesa
Genesa adalah peristiwa yang menyebabkan terbentuknya batuan beku tersebut

Stratigrafi

           Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/ gambaran atau urut-urutan lapisan. komposisi dan umur relatif serta distribusi peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari pemerian perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi

STRATIGRAFI
              Ilmu stratigrafi muncul di britania raya pada abad ke-19. Perintisnya adalah William smith. Kala itu diamati bahwa beberapa lapisan tanah muncul pada urutan yang sama (superposisi). Kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan tanah yang terendah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian.
               Karena banyak lapisan tanah merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat yang berbeda-beda maka, bisa dibuat perbandingan pada sebuah daerah yang luas. Setelah beberapa waktu, dimiliki sebuah sistem umum periode-periode geologi meski belum ada penamaan waktunya
2. 2. PRINSIP STRATIGRAFI
           Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi, yaitu:
1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari: 

• Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)

         Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.

• Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)

         Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.

• Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)  

         Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar (horizontal), sedangkan akumulasi pengendapannya terjadi secara vertikal (principle of vertical accumulation).

2. Hukum yang dikemukakan oleh James Hutton (1785)

Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme

          yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain “masa kini merupakan kunci dari masa lampau” (“the present is the key to the past”). Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.

3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan H. Robinson.

        Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang diterobosnya

4. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession) oleh De Soulovie (1777)

          Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.

5. Prinsip William Smith (1816)

          Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.

6. Prinsip Kepunahan Organik oleh George Cuvier (1769-1832)

            Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.
            Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang perlu di ketahui, yaitu:
1. Unsur batuan
           Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan pemerian litologi. Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen 5% dan batuan non-sedimen 95%. Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%. Unsur batuan terpenting pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang berlapis-lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan ditinjau dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat dipermudah pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu dengan yang lainnya, yang dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan dengan yang lainnya.
2. Unsur perlapisan
          Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan sedimen dibentuk oleh suatu proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, maka Weimer berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa: 
• Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport, sehingga kemiringan endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih (overlap) yang dibentuk karena tidak seragamnya massa yang diendapkannya.
• Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut terhadap lapisan sedimentasi di bawahnya.
2. 3. STRATIGRAFI PRA-KAMBRIUM
           Di Indonesia, kita terutama hanya banyak bermain di hampir 1,5 % saja episode Bumi bernama zaman Paleogen dan Neogen. Atau, manusia hanya “banyak” tahu di hampir 12 % saja episode Bumi bernama kurun Fanerozoikum, sementara 88 % episode Bumi yaitu sejak penciptannya sampai Kambrium, pengetahuan kita sedikit sekali. Ini adalah cerita tentang yang sedikit sekali itu, pra-Kambrium, yang serbalangka dan serbarumit.
“Studying the Earth becomes increasingly difficult and uncertain the further one goes back in geological time” (Robb et al., 2004)
             Berikut ini adalah uraian singkat tentang stratigrafi pra-Kambrium (pre-Cambrian) berdasarkan beberapa sumber dan bagaimana kabarnya di Indonesia . Nama2 waktu geologi diterjemahkan dari bahasa aslinya mengacu kepada Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980) dan Kamus Istilah Geologi (Purbo-Hadiwidjoyo, 1981)
             Bumi berdasarkan pengetahuan terbaru dibentuk pada 4560 Ma (million years ago) Kambrium dimulai pada 542 Ma (Geologic Time Scale 2004 – Gradstein et al., 2004). Maka, pra-Kambrium berlangsung dari 4560-542 Ma, atau meliputi sekitar 7/8 sejarah Bumi. Sungguhpun demikian, betapa sedikitnya pengetahuan kita tentangnya. Kurun Fanerozoikum (Phanerozoic) 542 Ma-sekarang adalah kurun biostratigrafi, dimulai dengan melimpahnya fosil akibat Cambrian Explosion terus sampai ke zaman Kenozoikum. Pembagiannya ke dalam masa, zaman, kala, dan tingkat (stage, pembagian internasional) adalah didasarkan kepada biostratigrafi. Sementara itu, pembagian waktu pra-Kambrium didasarkan kepada geokronometri isotop-isotop radioaktif pada mineral, batuan, dan kerak yang ditemui. Bisa dipahami sebab kehidupan pada pra-Kambrium sangat minimal dan baru berkembang.

Skala waktu geologi menurut Thomson 
              Seperti telah kita ketahui, secara garis besar waktu geologi dibagi menjadi tiga kurun (eon) : Arkeum (Archean), Proterozoikum, dan Fanerozoikum. Pra-Kambrium bukan istilah stratigrafi normal di dalam Skala Waktu Geologi, ia hanya menunjuk kepada semua batuan dan peristiwa sebelum Kambrium. Pra-Kambrium meliputi Kurun Arkeum dan Kurun Proterozoikum.
Kurangnya fosil yang terawetkan dan tak bervariasi, kurangnya volume singkapan, dan meningkatnya intensitas metamorfisme dan kompleksitas tektonik, dan tidak pastinya konfigurasi serta tataan benua-benua pada saat itu, semuanya telah mengakibatkan penetapan skala waktu kronostratigrafi pra-Kambrium bermasalah. Penetapan skala waktu ini diakui para ahlinya            sebagai pekerjaan yang luar biasa sulit dan membuat frustasi.
               Apa yang terjadi dengan Kurun Fanerozoikum tak terjadi dengan kedua kurun sebelumnya. Kurun Fanerozoikum bersamaan dengan daur superkontinen yang paling baru – urutan-urutan peristiwa geologi yang dapat dipahami dengan baik tentang bagaimana Pangaea tersusun dan terpisah-pisah kembali. Kurun ini juga bersamaan dengan periode ketika kehidupan multisel mengalami diversifikasi dan proliferasi yang luar biasa besarnya. Maka, tak mengherankan bila skala waktu geologi Kurun Fanerozoikum dapat ditetapkan dengan detail, secara global saling berkorelasi, yang metode kronostratigrafinya dikawal dengan ketat oleh data biostratigrafi, isotop, dan magnetostratigrafi.
Meskipun demikian, para ahli pra-Kambrium dengan segala daya upayanya, meskipun penuh kesulitan dan frustasi, berhasil juga menyusun dan merekonstruksi geologi Kurun Arkeum dan Proterozoikum.
           Kurun Arkeum dibagi menjadi empat masa (era) : Eoarkeum (…-3600 Ma), Paleoarkeum (3600-3200 Ma), Mesoarkeum (3200-2800 Ma), dan Neoarkeum (2800-2500 Ma). Tidak ada lagi pembagian lebih lanjut (zaman-period, kala-epoch, tingkat-stage). Batas bawah Arkeum tidak diketahui, batas atasnya 2500 Ma. Arkeum tak punya batas bawah sebab mandala (terrane) geologi yang primitif yang mewakili masa ini masih terus dicari, batuan dan mineral tertua di Bumi masih terus dicari dan umur2 yang telah ditemukan terus bertambah semakin tua. Mineral tertua di Bumi yang pernah ditera (dating) adalah sebuah mineral zirkon hasil rombakan yang berasal dari sampel bernama W74, sebuah metakonglomerat yang tersingkap di wilayah Jack Hill, Australia Barat. Butir zirkon ini menghasilkan umur 4408 +/- 8 Ma berdasarkan geokronologi isotop U-Pb. Di dalam sampel itu juga tercampur mineral2 dengan umur 4100-4300 Ma (Wilde et al., 2001 – Evidence from detrital zircons for the existence of continental crust and oceans on the Earth 4.4 Gyr ago : Nature 409 (6817) p. 175-178).
Meskipun batuan metakonglomerat pengandung zirkon ini jauh lebih muda umurnya, keberadaan zirkon di dalamnya telah menandakan adanya kerak kontinen (yaitu granitik) yang umurnya 150 juta tahun setelah pembentukan Bumi sendiri pada sekitar 4560 Ma. Zirkon adalah mineral paling stabil dan terdapat di dalam granit.
              Batuan paling tua yang pernah ditera sampai saat ini adalah ortogenes Acasta dari Slave Craton di Kanada, yang menghasilkan umur isotop U-Pb 4031 +/- 3 Ma (Bowring dan Williams, 1999 – Priscoan 4.00-4.03 Ga orthogneisses from NW Canada : Contribution to Mineralogy and Petrology, 134 p. 3-16). Sedangkan, segmen kerak Arkeum yang paling tua dan telah terpetakan dengan baik adalah kompleks genes Itsaq (dulu disebut Amitsoq) dan jalur greenstone Isua di Greenland. Ortogenes tertua dari Itsaq berumur 3872 +/- 10 Ma.
Apakah dapat diharapkan ditemukan segmen kerak yang lebih tua dari Itsaq ? Mungkin kecil sebab bombardemen meteor terjadi sangat intensif menyerang Bumi dan Bulan pada sekitar periode ini yang memuncak pada 3900 Ma (Cohen et al., 2000 – Support for the lunar cataclysm hypothesis from lunar meteorite impact melt ages : Science 290 p 1754-6), bombardemen ini bisa menghancurkan kebanyakan kerak Bumi yang sudah ada sebelum 3900 Ma. Batuan dengan umur lebih tua dari 3900 Ma jelas ada, tetapi ada pun terawetkan sangat langka atau telah terdisagregasi sampai sekarang tinggal sebagau xenocrysts atau detritus.
Kurun Proterozoikum bermula pada 2500 Ma dan berakhir pada 542 Ma (batas bawah         Kambrium). Kurun ini dibagi ke dalam tiga masa, dari tua ke muda meliputi Paleoproterozoikum (2500 -1600 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Siderium, Riasium, Orosirium, Staterium); Mesoproterozoikum (1600-1000 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Kalimium, Ektasium, Stenium); dan Neoproterozoikum (1000-542 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Tonium, Kriogenium, Ediakarium).
               Proterozoikum punya potensi biostratigrafi yang lebih baik daripada Arkeum karena hadirnya stromatolit – mikrooraganisme simbiose ganggang dan bakteri yang aktivitas metabolisme dan pertumbuhannya di laut telah menyebabkan penjebakan sedimen, pengikatan, dan pengendapan membentuk struktur2 seperti lapisan, sembulan, atau kubah. Selain stromatolit yang sepanjang Proterozoikum berubah pola dan susunannya bergantung kepada lingkungannya, potensi biostratigrafi Proterozoikum datang dari fosil-fosil eukariotik seperti acritarch (spora alga) yang digunakan untuk mengkorelasikan zaman-zaman di Neoproterozoikum. Fosil paling terkenal pada kurun ini adalah kelompok fosil Ediakara yang muncul pada ujung Proterozoikum memasuki Kambrium sehingga namanya menjadi nama zaman paling terakhir (Ediacaran) di Kurun Proterozoikum. Meskipun demikian, biostratigrafi di sini lebih menunjukkan lingkungannya daripada umurnya.
            Kurun Proterozoikum pun dikenal dengan pernah hadirnya dua superkontinen sebelum Pangaea, yaitu Rodinia pada Mesoproterozoikum dan Pannotia pada Neoproterozoikum. Keberadaan kedua superkontinen ini didasarkan kepada data geokronologi, paleomagnetisme dan penafsiran petro-tektonik.
Bagaimana di Indonesia ? Adakah batuan atau mineral berumur Kurun Arkeum atau Kurun Proterozoikum ? Ada, tetapi sangat langka.
              Peneraan absolut umur tertua di Indonesia berasal dari mineral2 zirkon di dalam batuan volkanik Old Andesite Oligo-Miosen di sebelah selatan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menunjukkan umur 2500-3000 Ma (Mesoarkeum-Neoarkeum) (Smyth et al., 2003, 2005) menggunakan teknik radiometri U-Pb. Ditafsirkan bahwa di bawah Pegunungan Selatan itu terdapat basement Arkeum yang kemudian terlibat dalam partial melting saat subduksi Oligo-Miosen terjadi dan menghasilkan jalur volkanik Old-Andesite. Sebagian material volkanik itu mengandung zirkon Arkeum.
Sebaran umur zirkon ini mirip peneraan umur zirkon dari Perth, yang diduga berasal dari Yilgarn Craton berumur 2500-4200 Ma. Maka, ditafsirkan kemudian bahwa mungkin craton ini pecah lalu sebagian massanya sebagai continental sliver hanyut ke arah Jawa oleh pemekaran Paleo-Tethys (?), dan akhirnya berbentur dengan Sundaland sebelum Tersier, dan pada kala Oligo-Miosen terlibat dalam subduksi yang menghasilkan OAF (Old Andesite Formation).
Boleh-boleh saja berpendapat begitu, tetapi sebelum batuan dan kerak kontinen Pra-Kambrium ditemukan dan ditera di selatan Jawa, saya sulit percaya dengan penafsiran tersebut. Beberapa butir mineral zirkon detrital yang tercampur dalam material volkanik Oligo-Miosen tak serta merta membuktikan bahwa ada mikro-kontinen pra-Kambrium di selatan Jawa, apalagi kita bisa menentukan outline mikro-kontinen ini.
           Lalu, di Kepala Burung Papua, Pieters et al.(1983) pernah menera umur batuan paling tua di Indonesia yaitu berasal dari kerakal granodiorit pada interkalasi metakonglomerat di dalam Formasi Kemum (Silur-Devon) yang menghasilkan umur 1250 Ma (Mesoproterozoikum) menggunaan peneraan K-Ar. Kerakal ini tentu berasal dari suatu batuan induk yang tua juga, tetapi tidak pernah ditemukan di Kepala Burung.
            Seorang teman pernah mengatakan bahwa di Sundaland ada batuan berumur Arkeum. Setahu saya, tak ada batuan bahkan mineral berumur Arkeum di Sundaland. Sundaland adalah Mesozoic continental core of SE Asia. Pentarikhan granit SW Kalimantan (Hamilton, 1979), Malay Peninsula (Liew and Page, 1985), Malay Tin Belt (Cobbing et al., 1986) dan Sumatra (Imtihanah, 2000) tak menghasilkan material berumur Arkeum atau menunjukkan adanya kerak batuandasar berumur Arkeum di wilayah ini. Bukti2 geokimia juga menunjukkan hadirnya basement yang berumur tak lebih tua dari Proterozoikum, seperti di Malay peninsula (contoh Liew & Page, 1985).
            Informasi terbaru tentang umur basement di wilayah Sundaland berasal dari studi sediment provenance analyses sedimen Paleogen di Kalimantan bagian utara yang menggunakan metode U-Pb SHRIMP dating of zircons (van Hattum, 2005). Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa sedimen Paleogen di wilayah ini diinterpretasikan berasal dari erosi Schwaner Granites of SW Kalimantan dan dari Malay Tin Belt (van Hattum, 2005) dan tak mengandung Archean zircons. Artinya adalah bahwa tak ada kerak berumur Archean di bawah Pegunungan Schwaner, Kalimantan atau Malay peninsula.

            Hanya di dua tempat di Indonesia kita mempunyai sampel berumur pra-Kambrium : mineral zirkon di selatan Jawa berumur 2500-3000 Ma dan granodiorit di Kepala Burung berumur 1250 Ma. Memang, geologi pra-Kambrium berarti kelangkaan dan kesulitan

2. 4. PERKEMBANGAN KLASIFIKASI STRATIGRAFI 

2.4.1. International Stratigraphic Guides, 1994 dan International Subcommission for Stratigraphic Classification. (R.P.Koesoemadinata)

1. Perkembangan klasifikasi stratigrafi dalam dunia internasional memperlihatkan kecenderungan untuk memisahkan kategori klasifikasi deskriptif dan interpretatif. Stratigrafi didasarkan padafakta yang terlihat di lapangan dan tidak secara interpretatif.
2. Penamaan satuan yang bersifat interpretatif sebaiknya dihindari, satuan tersebut dinyatakan sebagai satuan tidak resmi (contoh: Seismik Stratigrafi, Sikuen Stratigrafi).
3. Kategori deskriptif dibatasi pada kriteria litologi dan kandungan fosilnya, sedangkan criteria sifat-sifat fisik, kimia cenderung hanya dibatasi pada sifat yang dapat menentukan waktu atau umur , seperti paleomagnetic polarity. Satuan berdasarkan karakteristik log, penampang seismik tidak dapat dinyatakan sebagai satuan resmi, walaupun diakui keberadaannya
4. Kategori yang bersifat interpretatif : penafsirannya dibatasi pada hal-hal yang menyangkut waktu/ umur. Kategori satuan stratigrafi yang bersifat interpretative seperti lithogenetic units, satuan lingkungan pengendapan, cyclothems tidak dapat diterima sebagai satuan stratigrafi resmi
5. Keberadaan satuan tidak resmi dapat diakui walaupun sangat tidak dianjurkan

2.4.2. Permasalahan Stratigrafi Nasional Sekarang

1. Pada kebanyakan makalah dalam publikasi IPA, IAGI menggunakan nama tidak resmi, karena penulis umumnya tidak sanggup mengajukannya secara resmi, karena peraturannya sangat banyak. Hal tersebut mendorong semakin banyaknya satuan tidak resmi terutama dalam kalangan industri.
2. Tidak konsisten dalam penamaan formasi. Dalam satu cekungan dinamai 2 atau 3 nama satuan resmi oleh peneliti yang berbeda.
3. Pada cekungan yang berbeda (yang lain), masih ada pemeta yang menggunakan nama formasi yang sama dengan cekungan di tempat lain.
4. Penyusunan satuan stratigrafi gunungapi dalam SSI, didasarkan pada genesa bukan secara diskriptif. Pembagian secara genesa tersebut mengakibatkan hanya berlaku untuk gunungapi Kuarter yang masih terlihat bentuk-bentuknya.
5. Konsep stratigrafi tradisional masih lebih banyak digunakan, walaupun secara eksplisit. Sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996.
6. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 mengandung pembagian satuan yang bersifat diskriptif dangenetik. Hal ini berarti tidak mengidahkan anjuran dari International Stratigraphic Guides, 1994

2.4.3. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (soejono martodjojo)

Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud keprihatinan terhadap tidak adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem penamaan dalam pemetaan gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan kegiatan dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-1996, seperti Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft dari para pengusul atas satuan tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya. Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di Indonesia bagi masing-masing satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat literatur resmi, tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan diluaskan sehingga mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan Stratigrafi perlu menjadi bahan pertimbangan

2.4.4. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi Stratigrafi Indonesia. (Djuhaeni)

SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam Sandi Stratigrafi Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik, Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
1. SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
2. SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik, Gunung api, Sikuenstratigrafi.
            Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan Litodemik dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah yang berbeda dengan Hukum Superposisi, terutama hubungan kontak dan pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-pakar mineral untuk berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun aplikasinya di Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu dikembangkan, dan disesuaikan dengan perkembangan penerapannya di Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya untuk keperluan korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan lebih lanjut., sesuai perkembangan konsep dan penerapannya di Indonesia.
           Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan Satuan Stratigrafi Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996 setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang mendapat perhatian. 
Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era
1. Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu, dan penamaannya diikuti oleh kata “series" atau "beds", sebagai contoh Halang Series, Cidadap Beds.
2. Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi Formasi Halang.
3. Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok, munculnya Satuan “Sikuenstratigrafi” dan Satuan “Tektonostratigrafi”.
              Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan stratigrafi menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi dan pelamparannya : Formasi Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung 11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian waktunya. Akan membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
             Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak terbatas "dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem "terlalu banyak nama-nama satuan litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu formasi itu", sebagai contoh Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat bagian Utara (NW Java Basin).
              Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu kepada "Sandi Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-IAGI sangat tidak diharapkan untuk dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan kepada Komisi SSI-IAGI, untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
               Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan stratigrafi, Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan stratigrafi yang ada di Indonesia, dan mendokumentasikan di dalam bentuk "Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan, penambahan, dan lainnya, sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI, IAGI. Pembahasannya dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
             Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia, diharapkan SSI selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada setiap waktu.

Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencanapenerbitan Leksikon Stratigrafi Indonesia

1. Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
2. Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini, menghasilkan nama satuan stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik resmi ataupun tidak resmi.
3. Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-kaidah SSI, seperti perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda untuk satuan batuan yang sama.
4. Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini menghasilakan lebih dari 2000 nama satuan batuan di Indonesia.
5. Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan oleh Puslitbang Geologi dengan tahapan pertama menerapkan litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
6. Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan, umur, nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil, hubungan stratigrafi, ketebalan, penyebaran, lingkungan pengendapan, tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta dilengkapi dengan peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
7. Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu sistem informasi geologi

2.4.5. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)

Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi di Indonesia :
1. Kendala Lingkup Penerapan
           Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi Kuarter dan aktif dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunungapi.
2. Kendala Pendidikan Dasar Geologi
       Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi geologi Indonesia yang berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur magma dan gunungapi, menyebabkan pemahaman ilmu gunungapi sangat minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi semakin sulit untuk dipelajari.
3. Kendala Kesampaian Medan
       Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan keengganan para ahli geologi untuk melakukan penelitian di daerah gunungapi.
4. Kendala Atmosfer Penelitian
         Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi yang menyangkut ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung berorientasi ke ekonomi.
Adanya kendala-kendala tersebut “ Para ahli geologi Indonesia semakin tidak memahami kondisi geologinya sendiri”. Di masa mendatang, sangat mungkin ahli geologi luar negeri akan menjadi lebih tahu geologi gunungapi Indonesia dan lebih mampu/ cepat memanfaatkan potensi sumber daya geologi Indonesia daripada ‘tuan rumah’nya. Akhirnya kita hanya akan menjadi penonton/ pelayan di negaranya sendiri. Apakah kita ingin seperti itu nantinya?

Usaha Penyelesaian

1. Mendorong iklim penelitian pemanfaatan sumber daya gunungapi yang diawali dengan penelitian-penelitian dasar geologi gunungapi,
2. Memperluas lingkup penerapan satuan stratigrafi gunungapi hingga batuan berumur Tersier atau yang lebih tua.
3. Mengubah secara bertahap bahan pendidikan dan pengajaran geologi disesuaikan dengan kondisi geologi Indonesia, serta
4. Memperkenalkan dasar-dasar geologi Indonesia kepada guru dan anak didik sejak pendidikan dasar hingga menengah atas.
Posisi Sikuenstratigrafi Di Dalam SSI 1996. Beberapa Persoalan Yang Timbul. (Wartono Rahardjo)
          Konsep Sikuenstratigrafi telah banyak diterapkan dan terbukti mampu memecahkan sejumlah masalah eksplorasi / produksi pada industri minyak dan gas bumi.
Pendekatan
            Analisis stratigrafi dengan pendekatan Litostratigrafi prinsipnya berdasarkan pemerian lapisan yang diamati. Penafsiran didasarkan atas kriteria yang teramati, yang sekaligus menjadi pembatas dari penafsiran tersebut. Kriteria tersebut bisa bersifat litologi (Litostratigrafi), fosil (Biostratigrafi) atau kombinasi keduanya sehingga muncul satuan Kronostratigrafi dan Geokronologi.
         Analisis Sikuenstratigrafi mulanya juga bersifat deskriptif seperti pada Litostratigrafi namunkemudian telah berkembang menjadi ilmu yang sangat deterministik bahkan bersifat prediktif.

Beberapa Perubahan Pada Konsep Dasar

           Ada beberapa konsep dasar Litostratigrafi yang tidak sesuai lagi bila diterapkan dalam pembahasan Sikuenstratigrafi, sehingga perlu pandangan baru dalam pemahaman konsep-konsep dasar yang ada di dalam Litostratigrafi.
Permasalahan Sikuenstratigrafi dalam SSI 1996
            Secara eksplisit sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996, namun dalam praktek belum banyak digunakan, terutama pada penelitian geologi permukaan. Konsep stratigrafi tradisionil masih lebih banyak digunakan.

Kesimpulan

1. Pendekatan Sikuenstratigrafi yang berakar dari Seismikstratigrafi secara nyata telah membenarkan hasil yang lebih baik dalam penafsiran stratigrafi detail daripada pendekatan stratigrafi konvensional..
2. Banyak praktisi geologi non stratigrafi menjadi ketakutan dan enggan mendalami Sikuenstratigrafi karena banyaknya istilah baru yang khas Sikuenstratigrafi.
3. Keberadaan ketidakselarasan dalam berbagai ujudnya sangat penting dalam Sikuenstratigrafi tetapi masih kurang diperhatikan peranannya pada satuan stratigrafi yang lain, terutama pada satuan Litostratigrafi.
4. Saran yang dapat diajukan sebagai akibat dari diakuinya Satuan Sikuenstratigrafi adalah perbaikan dalam pendefinisian dari korelasi (pasal 7 SSI 1996) serta penambahan pasal tentang ketidakselarasan
2.4.6. Litostratigrafi vs Biostratigrafi Di Cekungan Kutai Hilir: Masukan Bagi Penyempurnaan SSI’96. (Andang Bachtiar)
                   Perlunya tinjauan ulang penggunaan litostratigrafi untuk menerangkan stratigrafi endapan delta di semua cekungan di Indonesia, terutama apabila dimensi deltanya ekivalen dengan Delta Mahakam purba. Hal ini menjadi sangat penting karena keragaman fasies litologi endapan delta, baik secara lateral/ vertikal yang diakibatkan oleh proses naik-turunnya muka air laut relatif dapat sangat ekstrim, yaitu dari dominan batupasir fluvial sampai ke endapan laut dalam, sehingga satu penamaan formasi saja tidak cukup untuk memerikan stratigrafinya.
2.4.7. Kontribusi Seismik Stratigrafi pada Pembenahan “Satuan Resmi Bawah Permukaan” Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (Awang H. Satyana & Brahmantyo K. Gunawan)
1. SSI 1973 dan 1996, kurang mengakomodasi masalah stratigrafi bawah permukaan.
2. SSI 1996 telah memuat Satuan Sekuen Stratigrafi, tetapi belum berdasarkan kepada data bawah permukaan khususnya data seismik.

2. 5. POLA SEBARAN FORAMINIFERA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STRATIGRAFI SIKUEN (Studi kasus: Daerah Blora dan sekitarnya/daerah lintang rendah) 

             Berkembangya konsep stratigrafi sikuen akhir-akhir ini (Vail, 1987, van Wagoner dkk., 1988 dan Haq, 1991) telah mengakibatkan perubahan yang revolusioner dalam pemikiran stratigrafi. Secara hipotesis, biostratigrafi (foraminifera) dapat mengidentifikasi sikuen dan komponen sikuen itu sendiri bilamana data yang lain tidak meyakinkan (van Gorsel, 1988).
Stratigrafi sikuen adalah metode pendekatan yang multidisiplin serta berorientasi pada sejumlah proses untuk menginterpretasi paket sedimen. Paket sedimen tersebut diberi nama sikuen dan dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang kemenerusannya yang selaras dan bersifat regional. Secara teknis, konsep ini bertujuan mengelompokkan urutan susunan batuan sedimen ke dalam suatu sikuen yang didasarkan pada kronologi sebagai pembatas selang genesanya (Vail, dkk, 1984, Vail, 1987, dalam Djuhaeni, 1996). 
           Istilah sikuen menunjuk pada sikuen orde 3 yang menurut Vail (1992, dalam Handford, 1997) mempunyai selang waktu 0,5 - 3,0 juta tahun. Sikuen tersebut diakibatkan oleh glacio-eustatic change dan tektonik lokal ataupun regional. Mitchum dan van Wagoner (1991) menyatakan bahwa sikuen mempunyai pola tumpukan sedimen (stacking pattern) dan merupakan bukti dari adanya siklus high-frequency eustatic. Sikuen tersebut tersusun atas komponen sikuen (depositional system track: lowstand system track/LST, transgressive system track/TST dan high system track/HST) sebagai respons akibat perubahan muka air laut relatif (Posamentier dan Vail, 1988; van Wagoner dkk., 1988).
             Interpretasi stratigrafi sikuen dan komponen sikuennya serta horison seperti batas sikuen (SB), bidang transgresi (TS), bidang maximum flooding surface (MFS), dan condensed section (C) memerlukan pemahaman akan hubungan stratigrafi, umur, batimetri, dan fasies. Dengan demikian, terlihat ada beberapa aspek yang melibatkan biostratigrafi dalam mengevaluasi stratigrafi sikuen.

2.5.1. Material dan metode

             Daerah penelitian berada di Cekungan Jawa Timur Utara (Blora, daerah lintang rendah,). Stratigrafi sikuennya sudah dikaji secara rinci oleh Djuhaeni (1994). Sebanyak 101 contoh dari 6 unit sikuen pada empat buah penampang stratigrafi telah diambil. Pengambilan contoh batuan di lapangan dilakukan pada tiap batas komponen sikuen dan selang di antaranya. Semua contoh batuan yang didapat diproses dengan prosedur yang sama. Contoh batuan yang tidak kompak di cuci sebanyak 10 gram berat kering, sedangkan yang sangat kompak disayat tipis. Teknik penghitungan, metode preparasi, dan hitungan set fosil dilakukan secara konsisten pada seluruh contoh yang dianalisis, secara kuantitatif.
           Taksonomi foraminifera mengikuti Loeblich & Tappan (1964), sedangkan referensi untuk spesies planktonik dan zonasinya mengikuti Bolli dkk. (1985). Identifikasi spesies bentonik berdasarkan antara lain Barker (1960) dan Adam (1984). Selain menggunakan konsep datum, penentuan umur relatif juga dibantu oleh pola perubahan putaran spesies tertentu (Bolli dkk.,1985). Sementara itu foraminifera besar mengikuti Adam (1970, 1984). Data ekologi genus atau spesies foraminifera dan asosiasi untuk tiap zona batimetri didasarkan pada berbagai sumber seperti Rauwenda dkk. (1984), Murray (1991), Biswash (1976), Hottinger (1983), dan Bilman dkk. (1980). Model batimetri untuk lingkungan pengendapan laut mengikuti model yang digunakan oleh Rauwenda dkk. (1984). Analisis iklim menggunakan metode whole fauna dengan referensi spesies dari Boltovskoy & Wright (1976) dan Be’ & Tolderlund (1971, dalam Haynes, 1981). Salinitas ditafsirkan dari perbandingan Globigerinoides sacculifer/Gs. ruber seperti yang digunakan oleh Berggren & Boersma (1969, dalam Boltovskoy & Wright, 1976). Beberapa parameter dicoba diterapkan untuk melihat pola sebaran foraminifera yang dapat membantu analisis stratigrafi sikuen, yaitu kelimpahan, keragaman, bioevent, biofasies, dan kompisisi fauna.

2.5.2. Pola sebaran/karakteristik foraminifera dalam stratigrafi sikuen

          Umur, lingkungan pengendapan, dan iklim purba dari contoh yang dianalisis terlihat pada Gambar 3 sampai dengan 6. Gambar 7 sampai dengan 10 adalah kurva kelimpahan (total, bentonik, planktonik), keragaman (jumlah total species, Yule-Simpson indeks, planktonik, bentonik), dan komposisi foraminifera. Berikut akan dibahas pola atau karakteristik foraminifera pada setiap komponen sikuen dan bidang-bidang batasnya

2.5.3. Batas sikuen

            Sebanyak 7 batas sikuen, yaitu SB2, SB3, SB4, SB5, ?SB6, SB8, dan SB9 telah dianalisis. SB2, SB3, SB8, dan SB9 secara fisik di lapangan dicirikan oleh bidang erosional. Hampir semua batas sikuen dicirikan oleh penurunan batimetri secara tiba-tiba, kecuali SB5 dan ?SB6 di lintasan Kali Ledok. Batas tersebut dari hasil analisis foraminifera tidak menunjukkan adanya perubahan batimetri. Pada batas sikuen SB6, meskipun batimetri tidak menunjukkan perubahan, terlihat ada sedikit perubahan pada iklim, kelimpahan dan keragaman total, serta foram planktonik dan bentonik. Batas sikuen juga bersesuaian dengan perubahan iklim (SB8) dari panas ke dingin serta adanya zona biostratigrafi yang hilang. Beberapa batas sikuen dicirikan oleh hadir atau meningkatnya fauna rombakan dan percampuran fauna fasies laut dangkal dan dalam. Hal ini diikuti oleh perubahan batimetri dan/atau ekologi (salinitas), iklim dari panas ke dingin (SB2, SB8, SB9), dan perubahan pH (SB3). Pada Gambar 7 sampai dengan 10 terlihat bahwa keragaman dan, kelimpahan total maupun kelompok foraminifera tidak menunjukkan pola yang konsisten; pola yang dijumpai sangat tergantung pada jenis batuan dan kondisi ekologi lingkungan pengendapannya. Meskipun demikian, terlihat bahwa bila kondisinya sama-sama laut terbuka, batas sikuen dicirikan oleh penurunan kelimpahan totalnya (SB4, SB5, ?SB6, SB8 dan SB9). Beberapa batas sikuen juga dicirikan oleh perubahan komposisi fauna secara mencolok dengan tiba-tiba (SB2 dan SB3).

2.5.4. Lowstand System Track (LST)

            Sebanyak 5 selang endapan LST, yaitu LST dari Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10 telah dianalisis. Adanya fosil rombakan yang sukar dipisahkan dengan yang in situ pada endapan LST Sikuen 3 dan 10 membuat pola keragaman dan kelimpahan yang sebenarnya sulit diketahui. Selang LST Sikuen 7 (Gambar 9) memperlihatkan pola penurunan keragaman, baik dalam jumlah specien maupun indeks Yule-Simpson serta keragaman bentonik dan planktoniknya. Sementara itu, LST Sikuen 4 (Gambar 7) juga memperlihatkan penurunan keragaman dan kelimpahan, tetapi LST Sikuen 5 (Gambar 8) menunjukkan hal yang sebaliknya. 
           Pembahasan di atas menunjukkan bahwa pola keragaman dan kelimpahan tidak konsisten. Secara umum, endapan LST dicirikan oleh hadirnya fauna rombakan yang relatif banyak dan percampuran bentonik laut dangkal dan dalam. Biofasies pada endapan LST yang dianalisis pada laut dangkal menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada HST unit sikuen di bawahnya, sedangkan yang pada laut yang relatif dalam (SB5 & ?SB 6) tidak selalu menunjukkan pendangkalan batimetri.

2.5.5. Transgressive System Track (TST)

           Sebanyak 5 selang endapan TST, yaitu TST dari Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10 telah dianalisis. Selang TST memperlihatkan kecenderungan naiknya kelimpahan total, meskipun pada TST Sikuen 9 pola tersebut tidak begitu tampak karena sulit memisahkan fauna rombakan dan fauna in situ. Pada laut dangkal (TST Sikuen 3 dan 10) terlihat bahwa kelimpahan total bentoniknya meningkat, sedangkan pada laut dalam (TST Sikuen 7 dan 9), kelimpahan dan keragaman planktoniknya yang tampak meningkat. Analisis biofasies menunjukkan bahwa asosiasi faunanya makin ke atas makin menunjukkan lingkungan yang makin mendalam, dan mencapai maksimum kedalaman di sekitar batas antara TST dan HST. Hal ini tampak jelas terutama pada daerah laut dangkal. Parameter lain tidak menunjukkan pola tertentu.

2.5.6. Highstand System Track (HST)

           Empat selang HST telah dianalisis, yaitu HST Sikuen 3, 5, 7, dan 9. Selang HST tersebut memperlihatkan karakteristik biofasies yang hampir sama, yaitu makin ke atas makin menunjukkan pendangkalan batimetri (HST Sikuen 3, 7, dan 9); hanya Sikuen 5 yang tidak menunjukkan perubahan batimetri. Kelimpahan dan keragaman jumlah spesies, indeks Yule-Simpson, planktonik dan bentonik, dan komposisi fauna, tidak menunjukkan pola perubahan yang konsisten. Sikuen 3 dan 7 memperlihatkan keragaman yang menurun ke arah atas, sedangkan Sikuen 5 menunjukkan kecenderungan naik ke arah atas. Pada Sikuen 9 terlihat menurun, kemudian berfluktuasi, dan meningkat lagi di akhir selang. Kelimpahan total umumnya mempunyai pola yang berfluktuasi. 

2.5.7. Transgressive Surface (TS)

           Sebanyak 5 bidang TS telah dianalisis, yaitu bidang TS Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10. Bidang TS Sikuen 3, 4, 5, dan 10 berada pada lingkungan laut relatif dangkal dan dicirikan oleh perubahan batimetri (kecuali Sikuen 5). Di atas bidang TS tampak lingkungan pengendapan yang relatif lebih dalam daripada yang di bawahnya. Sikuen 7 berada pada laut yang relatif dalam dan tidak menunjukkan perubahan batimetri. Keragaman, kelimpahan, dan komposisi fauna tidak menunjukkan pola yang konsisten.

2.5.8. MFS (Maximum Flooding Surface)

              Lima bidang MFS telah dianalisis, yaitu MFS Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10. Bidang MFS Sikuen 5, 7, 9, dan 10 berasosiasi dengan condensed section. Pada bidang MFS yang berasosiasi dengan condensed section tampak bahwa kelimpahan dan/atau keragaman yang relatif tinggi berada tepat di bawah bidang MFS dan hanya pada Sikuen 5 yang tidak. Sementara itu, yang tidak berasosiasi dengan condensed section, maksimum kelimpahan dan/atau keragamannya berada di atas bidang MFS. Meskipun dalam satu sikuen terdapat nilai keragaman dan/atau kelimpahan yang hampir sama atau lebih tinggi (TST Sikuen 9 dan LST Sikuen 3), hal tersebut dapat dibedakan dari yang berasosiasi dengan bidang MFS. Nilai yang tinggi tersebut diakibatkan oleh adanya fauna rombakan yang sebagian sulit dipisahkan dengan yang in situ. Bidang MFS juga tampak berasosiasi dengan maksimum kedalaman di dalam satu sikuen. Hal tersebut terefleksi pada asosiasi biofasiesnya. Pada laut dangkal, hal tersebut terlihat dari pemunculan fauna yang relatif lebih dalam dibandingkan dengan yang di atas atau di bawahnya, sedangkan pada laut dalam, tampak dari tingginya kelimpahan dan/atau keragaman total.
Condensed section
               Empat condensed section telah dianalisis dalam studi ini. Tiga condensed section (Sikuen 7, 9, dan 10) mempunyai karakteristik foraminifera yang sama, yaitu mempunyai nilai kelimpahan planktonik atau bentonik yang tinggi di dalam satu sikuen, tetapi condensed section Sikuen 5 tidak menunjukkan hal yang sama. Selain hal di atas, condensed section juga berasosiasi dengan biofasies yang menunjukkan lingkungan relatif paling dalam dari satu unit sikuen. Pada penelitian ini terlihat bahwa semua condensed section tersebut diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan salinitas normal.

2.5.9. Pemodelan

Berdasarkan model stratigrafi sikuen yang dibuat oleh Vail dkk. (1987), dan hasil analisis pada penelitian ini, dibuat model biostratigrafi dalam hubungannya dengan stratigrafi sikuen. Model tersebut (Gambar 11) menggambarkan perubahan batimetri, ekologi, dan iklim purba pada sikuen dan komponennya yang disusun berdasarkan data biofasiesnya. Horison-horison yang ada pada sikuen disusun berdasarkan perubahan pada biofasies dan bioevent, termasuk di dalamnya karakteristik kelimpahan dan keragaman

2. 6. PENAMPANG STRATIGRAFI 

Definisi
Penampang stratigrafi terukur (measured stratigraphic section) adalah suatu penampang atau kolom yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu jalur, yang secara sengaja telah dipilih dan telah diukur untuk mewakili daerah tempat dilakukannya pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut dapat meliputi satu formasi batuan atau lebih
         Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi, sehingga hanya meliputi satu atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi, misalnya anggota atau bahkan hanya beberapa perlapisan saja 
Tujuan:
1. Keterangan litologi terperinci yang menyangkut tentang jenis, macam, komponen penyusun, tekstur, kemas, kandungan fosil, struktur sedimen dan lain-lain sifat geologis dari setiap satuan yang terdapat pada jalur tersebut.
2. Kedudukan dan ketebalan dari setiap litologi yang dijumpai.
3. Urutan dari semua litologi yang ada serta jenis hubungan dari dua litologi yang berdampingan, apakah selaras, tidak selaras, menyisip, selang seling, bergradasi normal atau terbalik dan lain sebagainya 

Kolom stratigrafi yang diperoleh dari jalur yang diukur siap dijadikan dasar untuk :

1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun informal, yang dalam peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak, sehingga akan meningkatkan ketepatan dari pemetaan geologi yang dilakukan di tempat dimana dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom tersebut serta sejarah geologi sepanjang waktu pembentukan kolom tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk wilayah tersebut.
5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari seluruh satuan yang ada ataupun sebagian dari satuan yang terpilih, misalnya saja :
a. lapisan batupasir yang potensial sebagai reservoir.
b. lapisan batubara.
c. lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.
Ada dua metoda yang biasa dilakukan dalam usaha pengukuran jalur stratigrafi. Metoda tersebut adalah :
• Metoda rentang tali.
• Metoda tongkat Jacob (Jacob’s staff method). 
Metoda rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metoda Brunton and tape (Compton, 1985; Fritz & Moore, 1988) 
“dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran panjang. Semua jarak dan ketebalan diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan metoda ini akan langsung menghasilkan ketebalan sesungguhnya hanya apabila dipenuhi syarat sebagai berikut”:
• Arah rentangan tali tegak lurus pada jalur perlapisan. 
• Arah kelerengan dari tebing atau rentangan tali tegak lurus pada arah kemiringan.
Diantara 2 ujung rentangan tali tidak ada perubahan jurus maupun kemiringan

BAB VIII Pengolahan Bahan Galian

BAB VIII
FLOTASI



        Flotasi merupakan suatu cara konsentrasi kimia fisika untuk memisahkan mineral berharga dari yang tidak berharga, dengan mendasarkan atas sifat permukaan mineral yaitu senang tidaknya terhadap udara.
 Flotasi dilakukan dalam media air sehingga terdapat tiga fase, yaitu :
1. Fase padat
2. Fase cair
3. Fase udara
 Flotability adalah sifat kimia darimineral yaitu kekuatan mengapung mineral yang tergantung pada senang tidaknya terhadap udara.
 Terdapat dua macam jenis mineral, yaitu :
1. Polar, senang pada air (hydrofillic/aerophobic)
2. Non polar, senang pada udara (hydrophobic/aerofillic)
 Dengan mendasarkan sifat mineral tersebut maka mineral yang satu dengan lainnya dapat dipisahkan dengan gelembung udara.
 Persyaratan yang harus dipenuhi dalam flotasi adalah :
1. Diameter partikel harus disesuaikan dengan butiran mineral
2. Persen solid yang baik 25% - 45% (pryor), 15% - 30% (gaudin)
3. Sudut kontak yang baik sekitar 60o – 90o, berarti usaha adhesinya besar sehingga udara dapat menempel pada permukaan mineral yang mengakibatkan mineral dapat mengapung. Sudut kontak merupakan sudut yan dibentuk antara gelembung udara dengan mineral pada suatu titik singgung. Sudut kontak mempengaruhi daya kontak antara bijih dengan gelembung udara. Untuk melepaskan gelembung dan mineral dibutuhkan usaha adhesi (Wum) dengan

   
keterangan :
  = tegangan udara air
  = tegangan mineral air
  = tegangan udara mineral
4. pH Kritis
              pH kritis merupakan pH larutan yang mempengaruhi konsentrasi kolektor yang digunakan dalam pengapungan mineral. Pada gambar dibawah menunjukkan hubungan antara konsentrasi sodium diethyl dithiophosphate dan pH kritis. Mineral yang digunakan adalah pyrite, galena dan chalcophyrite. Konsentrasi kolektor tersebut dapat mengapungkan chalcophyrite dari galena pada pH 7 – 9, galena dari pyrite pada pH 4 – 6 dan chalcophyrite dari pyrite pada pH 4 – 9.

A. Langkah-langkah dalam flotasi adalah :

1. Liberasi, analisis pendahuluan
            Agar mineral terliberasi maka perlu dilakukan crushing atau grinding yang diteruskan dengan pengayakan atau classifying. Ini dimaksudkan agar ukuran butir mineral dapat seragam sehingga proses akan lebih sukses atau berhasil. Analisis pendahuluan dilakukan dengan menggunakan mikroskop sehingga dapat dilihat derajat liberasinya dan kadar dari mineral tersebut. Diupayakan dalam tahap ini juga dilakukan desliming, sebab slime akan mengganggu proses flotasi.
2. Conditioning
              Yaitu membuat suatu pulp agar nantinya pulp tersebut dapat langsung dilakukan flotasi. Preparasi ini sebaiknya disesuaikan dengan liberasi dalam proses basah, maka conditioning juga harus dilakukan pada proses basah.
Pada tahap pengkondisian, reagent yang diberikan adalah modifier, collector dan terakhir frother.
3. Proses flotasi
Proses ini ditandai dengan masuknya gelembung udara ke dalam pulp.

B. Macam-Macam Reagent
              Keberhasilan proses flotasi sangat ditentukan oleh ketetapan penggunaan reagent, baik jumlah maupun jenisnya. Reagen flotasi yang ditambahkan pada tahap conditioning dengan tujuan menciptakan suatu pulp yang kondisinya sesuai agar dapat dilakukan flotasi dan mineral yang diinginkan dapat terapungkan sebagai konsentrat.
1. Collector (collecting agent, promotor)
           Adalah suatu reagen yang memberikansifatmenempel pada udara sehingga mineral tersebut senang pada udara. Collector merupakan zat organik dalam bentuk asam, basa atau garam yang berbentuk heteropolar, yaitu satu ujungnya senang pada air dan ujung lainnya senang pada udara.
              Molekul kolektor berupa senyawa yang dapat terionisasi menjadi ion-ion dalam air (ionizing collector) atau berupa senyawa yang tidak dapat terionisasi dalam air (non ionizing collector). Non ionizing collector umumnya merupakan hidrokarbon cair yang dihasilkan dari minyak maupun batubara (heptane = C7H12, toluen = C6H5CH3). Sedangkan ionizing collector merupakan jenis kolektor yang molekulnya memiliki struktur heteropolar, yaitu salah satu kutubnya bersifat polar (dapat dibasahi air), sedangkan kutub lainnya bersifat non polar (tidak dapat dibasahi air). Berdasarkan sifat, ionizing collector diklasifikasikan menjadi dua, yaitu annionic collector dan cationinc collector.
Macam kolektor antara lain :
a. Xanthat, hasil reaksi alkohol, alkali dan sulfida karbon
b. Aerofloat, reaksi fenol dengan penta sulfida phosphor
c. Thio carbonalit (urae), sebagai serbuk halus
d. Fatty acid (asam lemak), untuk flotasi non logam
e. Oleic acid
f. Palmatic acid
2. Conditioner/Modifier
           Merupakan suatu reagent, bila ditambahkan ke dalam pulp akan memberikan pengaruh tertentu terhadap air atau mineral agar dapat membantu atau menghalangi kerja dari collector. Pengaruh umum yang dihasilkan adalah memperkuat atau memperlemah hydrophobisitas dari suatu permukaan mineral tertentu. Modifier ini biasanya an organik.
Macam conditioner/modifier
a. Reagent pengontrol pH
           Berfungsi untuk membuat suasana larutan menjadi asam atau basa. Pengaruh pH dalam flotasi sangat penting sebab pH dapat mampengaruhi aksi dari reagent lain terutama kolektor. Reagent kolektor akan bekerja dengan baik pada permukaan mineral tertentu bila mencapai harga pH kritis. pH kritis adalah ambang batas pH dimana kolektor dapat bekerja dengan baik pada minerl tertentu. Harga pH kritis akan naik bersama naiknya kolektor yang dipakai. Tinggi rendahnya pH ditentukan oleh konsentrasi ion-ion hidrogen dan ion-ion hidroksil (OH). Pengaruh ion-ion hidrogen hidroksil adalah terhadap hidrasi permukaan bila tanpa kolektor dan adsorbsi kolektor pada permukaan mineral.
Kapur biasanya digunakan dalam flotasi sebagai Ca(OH)2 padat dan biasanya kapur yang dimasukkan sebanyak 1,4 gram CaO per liter (tergantung pada mineral yang dipisahkan). Kapur ini dapat dipakai sebagai reagent pengendap dalam timbal sulfida dan emas.
Yang digunakan sebagai pengontrol pH adalah ; soda abu (NaCO3) dan Caustic Soda
b. Depressing Agent (reagent pengendap)
           Berfungsi untuk mencegah dan menghalangi mineral yang mempunyai flotablitas sama supaya tidak menempel pada gelembung udara. Biasanya yang digunakan adalah seng sulfat (ZnSO4) untuk menekan mineral sfalerit dan sodium sianida (NaCN) untuk menekan mineral pyrite.
 ZnSO4 + 2 NaCN  Zn(CN)2 + Na2SO4
Hasil reaksi tersebut dapat menekan sfalerit sehingga menjadi hydrofillic dan mencegah adsorbsi colector.
Macam yang lain antara lain ; lime (kapur), NaCN atau KCN dan Na sulfida.
c. Activating Agent (reagent pangaktif)
Berfungsi mengembalikan sifat flotabilitBerfungsi mengembalikan sifat flotabilit mineral sehingga tidak terpengaruh oleh aksi reagent kolektor yang telah diberikan sebelumya. Contohnya tembaga sulfat (CuSO4) terhadap mineral sfalerit. Mineral sfalerit tidak dapat diapungkan dengan baik oleh kolektor xanthate. Proses pengaktifan tembaga sulfat pada sfalerit akibat terbentuknya molekul tembaga sulfida (CuS) pada permukaan mineral dengan reaksi ion 
 ZnS + Cu++  CuS + Zn++
d. Sulfidizing Agent
Penambahan Na2S akan mengakibatkan endapan yang berupa selaput sulfida pada mineral tersebut sehingga logam oksida dapat terselimuti sulfida. Pemakaian sulfida yang berlebihan akan membuat sulfida itu mengandap.
e. Reagent Dispersi (dispersant, defloculator)
Berfungsi menjaga agar partikel-partikel mineral tidak membentuk gumpalan tetapi tetap berada dalam suspensi. Fraksi mineral yang bersifat non polar mempunyai kecenderungan untuk membentuk gumpalan, sedangkan mineral-mineral yang polar tidak berkecenderungan demikian tetapi tetap melayang. Reagent yang biasa digunakan adalah waterglass. Kedudukan sebaran dapat dipertahankan oleh reagent waterglass akibat adsorbsi ion-ionnya terhadap permukaan mineral.
Reagent ini disebut juga defloculating agent. Mineral yang senang pada udara itu biasanya menggumpal, sedang yang senang terhadap air akan melayang dalam air, oleh karena itu penambahan reagent ini bertujuan agar mineral tersebut menyebar.
Reagent yang sering dipakai adalah ; NaSiO2 (waterglass) dan Na3PO4 (trinatrium phosphat) untuk butir yang halus.
Untuk suatu reagent yang sama mungkin dapat bertindak sebagai aktivator terhadap suatu mineral, tetapi merupakan depresant untuk mineral yang lain.

3. Frother
         Merupakan suatu zat organik hydrocarbon yang terdiri dari polar dan non polar. Fungsi reagent ini untuk menstabilkan gelembung udara agar dapat sampai ke permukaan. Zat tersebut menyelimuti gelembung udara sehingga tegangan permukaan air akan menjadi lebih rendah, sehingga akan timbul gelembung udara. Dengan demikian frother ini dapat menimbulkan gelembung udara. Molekul frother adalah heteropolar, terdiri dari gugusan hydroxyl bersifat polar yang menarik air dan rantai hidrokarbon sebagai gugusan non polar.
Macam- macam frother adalah :
a. Methyl amil alcohol
b. Methyl iso butil carbinol
c. Cresitic acid
d. Pine oil
e. Polyprophylene glycol ether
f. Thricthoxy butane

C. Macam Sel Flotasi
             Sel flotasi berfungsi untuk menerima pulp dan dilakukan proses flotasi. Jenis sel mendasarkan atas pemasukan udara, adalah :
1. Agitation Cell
Alat ini jarang digunakan, sebab adanya perkembangan dengan diketemukannya sub aeration cell. Udara masuk ke dalam cell flotasi karena putaran pengaduk.
2. Sub Aeration Cell
Udara masuk akibat hisapan putaran pengaduk. Alat ini paling praktis sehingga banyak digunakan.
3. Pneumatic Cell
Alat ini jarang sekali yang menggunakan, udara langsung dihembuskan ke dalam cell
4. Vacum and Pressure Cell
Udara masuk karena tangki dibuat vakum oleh pompa penghisap dan udara dimasukkan oleh pompa injeksi.
5. Cascade Cell
Udara masuk karena jatuhnya mineral.
Syarat cell adalah :
1. Pulp tidak mengandap (dilengkapi dengan alat agitasi)
2. Ada pengatur tinggi pulp
3. Ada daerah yang relatif tenang sehingga butiran yang menempel gelembung udara mudah naik ke permukaan
4. Konstruksi dibuat sehingga tidak terjadi short circuit
5. Mempunyai resirkulasi dan pengeluaran midling
6. Harus mempunyai penerimaan pulp dan pengeluaran busa yang menumpuk
7. Mempunyai permukaan bebas untuk gelembung-gelembng yang sudah mengandung mineral, sehingga tidak mempengaruhi agitasi
8. Harus dilengkapi dengan pengeluaran froth.

D. Faktor Yang Mempengaruhi Flotasi
 Disamping jenis dan jumlah reagent flotasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi flotasi, antara lain :
1. Laju Udara (air flow)
Fungsi udara dalam flotasi sebagai pengikat partikel yang mempunyai sifat permukaan hydriphobic. Pengendalian laju udara umumnya merupakan cara yang biasa digunakan untuk mengontrol kadar dan perolehan konsentrat yang dihasilkan.
2. Persen Padatan
Penentuan persen padatan untuk flotasi tergantung pada keadaan bijih yang dipisahkan. Ada kecenderungan bahwa flotasi untuk partikel kasar dapat dilakukan dengan persen padatan besar, begitu juga sebaliknya. Untuk flotasi mineral sulfida pada tingkat rougher menggunakan persen padatan relatif besar +/- 45%, sedangkan untuk tingkat cleaner sekitar 25%.
3. Laju Pengumpanan (feed rate)
Laju pengumpanan akan berpengaruh terhadap kapasitas dan waktu tinggal (residence time). Semakin tinggi laju pengumpanan maka kapasitas alat akan semakin tinggi dengan demikian umumnya perolehan menjadi rendah. Hal ini karena waktu tinggal partikel yang singkat sehingga partikel tidak mempunyai waktu yang cukup untuk bertumbukan dengan gelembung udara. Akibatnya banyak partikel hydrophobic yang terbuang sebagai tailing. Namun kemungkinan kadar konsentrat yang dihasilkan semakin tinggi, oleh karena itu perlu dicari berapa laju pengumpanan yang paling optimum.
4. Laju Udara Pembilasan (wash water rate)
Air pembilas digunakan (khusus pada flotasi kolom) seperti halnya laju udara, dalam pengendalian laju air pembilasan diperlukan control yang ketat pula. Air pembilasan berfungsi untuk membantu mengalirkan konsentrat ke dalam lounder. PEmakaian air pembilas ini merupakan khas yang membedakan antara flotasi kolom dengan flotasi konvensional.
5. Ketebalan Lapisan Buih (froth depth)
Lapisan buih pada flotasi kolom merupakan zona berlangsungnya proses pemisahan partikel hydrophilic yang terjebak pada antar gelembung udara oleh adanya air pembilas. Apabila lapisan buih terlalu dangkal maka partikoel hydrophilic yang terperangkap dalam lapisan buih tidak sempat jatuh ke daerah pulp sehingga terbawa sebagai konsentrat.
6. Ukuran Gelembung Udara
Besar dan kecilnya ukuran gelembung udara berpengaruh terhadap luas total permukaan bijih. Untuk mengatur ukuran gelembung udara pada flotasi konvensional dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan putar impeller. Semakin besar luas permukaan gelembung udara maka semakin banyak pula kemungkinannya partikel dapat bertumbukan dan menempel pada gelembung udara.
7. Ukuran Partikel
Partikel yang terlalu halus mempunyai luas permukaan spesifik (cm2/gr) yang lebih besar disbanding butiran kasar, sehingga lebih banyak mengadopsi reagent. Permukaan halus juga akan lebih mudah berinteraksi satu sama lainnya sehingga memungkinkan terjadinya ikatan antar mineral pengotor dengan mineral yang diinginkan.
Akibat dari mineral halus adalah perolehan akan rendah dan kadar konsentrat akan rendah akibat butiran halus ikut terapung dan terbawa ke dalam konsentrat.
 Mekanisme dalam flotasi dimana mineral yang menempel pada gelembung udara (Froth) dapat terangkat ke atas dengan perhitungan sebagai berikut :
Misal :
Diameter gelembung udara = 2 cm
Volume gelembung udara = =4 cm3
Diameter butir = 0.02 cm dengan jumlah butir ada 25 buah
maka volumenya = x 25 = 10-4 cm3
Bila berat jenis mineral = 8
maka berat 25 butir mineral = 8 x 10-4 gram
Volume total = 4,0008 cm3, berat total juga 8 x 10-4
Maka BJ gelembung dan mineral = (8 x 10-4) : (4,0008) =< 1, sehingga dapat mengapung karena BJ air = 1.

Untuk menghitung jumlah cell yang diperlukan digunakan rumus :
 Jumlah cell = faktor x float time x dry tonase
dimana :
 faktor = volume total (cuft)/volume cell x 1440
Contoh :
Diketahui ; tonase bijih = 10 ton, waktu flotasi = 8 menit, SG PbS = 3,4, SG air = 1, % solid = 25%, volume cell = 10 cuft, 1 gr/cc = 62,43 lb/cuft, 1 ton = 2000 lb
Berapa jumlah cell yang digunakan.

Bila yang dikerjakan 1 ton bijih, maka volumenya adalah 
 = 2000 lb/(3,4 x 62,43 lb/cuft) = 9,42 cuft 
Dasar 25% solid (air ada 3 bagian), volume air
 = (3 x 2000 lb)/ (1 x 62,43 lb/cuft) = 96,10 cuft
Volume total (air dan mineral) = 105,52 cuft
Faktor = 105,52/(10x1440) = 7,3 x 103
Jumlah cell = 7,3 x 103 x 100 x 8 = 5,86 6 cell
 

BABA vII Pengoahan Bahan Galian

BAB VII
HIGH TENSION SEPARATION


          High tension separation atau electrostatic separation adalah pemisahan mineral satu dengan lainnya berdasarkan perbedaan electrical conductivity-nya. Mineral di alam ada yang electrical conductivity-nya tinggi (mineral konduktor) dan ada yang rendah (mineral non konduktor). Mineral konduktor mempunyai sifat mudah menerima ion negative juga mudah melepaskannya. Berbeda dengan mineral non konduktor yang sukar menerima maupun melepaskan ion negative.

A. Electrostatic Separator
 Bagian-bagian alat ini antara lain :
1. Hopper, merupakan alat penampung umpan yang dilengkapi dengan heater untuk memanaskan umpan agar dalam keadaan kering. Dalam keadaan material basah maka proses pemisahan dengan electrostatic separator tidak akan berhasil dengan baik.
2. Feeder (pengatur umpan), alat ini terletak pada hopper. Alat ini berguna agar umpan yang masuk ke rotor hanya satu lapis, dengan harapan proses dapat berjalan baik. Ujung dari hopper sebagai media keluarnya material dari hopper dapat diatur, agar jatuhnya material merupakan garis singgung dari rotor. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi lentingan material.
3. Rotor, adalah silinder yang berputar pada porosnya, dihubungkan dengan bumi sehingga rotor bermuatan positif.
4. Electrode, terdiri dari electroda kawat dan focussing electrode, merupakan sumber ion bombardement.
5. Splitter, sebagai penyekat pengatur produk (mideral konduktor, middling dan non kinduktor).
6. Brush (sikat), berguna untuk menyikat produk non konduktor yang ikut berputar dengan rotor.
7. Rectifier, sebagai alat untuk meningkatkan tegangan.

   
Konsentrasi Elektrostatik (Electrostatic Concentration)

Merupakan proses konsentrasi dengan memanfaatkan perbedaan sifat konduktor (mudah menghantarkan arus listrik) dan non-konduktor (nir konduktor) dari mineral.

Kendala proses konsentrasi ini adalah :
- Hanya sesuai untuk proses konsentrasi dengan jumlah umpan yang tidak terlalu besar.
- Karena prosesnya harus kering, maka timbul masalah dengan debu yang berterbangan.

Mineral-mineral yang bersifat konduktor antara lain adalah :
- Magnetit (Fe3 O4)
- Kasiterit (Sn O2)
- Ilmenit (Fe Ti O3)
- Molibdenit (Mo S2)
- Wolframit [(Fe, M) WO4]
- Galena (Pb S)
- Pirit (Fe S2)

Produk dari proses konsentrasi ini adalah :
- Mineral-mineral konduktor sebagai konsentrat.
- Mineral-mineral non-konduktor sebagai ampas (tailing).

Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Electrodynamic separator (high tension separator).
b. Electrostatic separator yang terdiri dari :
 - plate electrostatic separator
 - screen electrostatic separator


         Sedangkan mineral konduktor saat melewati medan korona, akan saling tarik menarik dengan roll putar yang bermuatan positif. Karena adanya muatan negatif yang berlebihan dan sifat dari mineral konduktor yang mudah menghantarkan muatan, maka muatan negatifnya akan dihantarkan melalui roll putar menuju bumi. Sehingga pada mineral konduktor yang mengandung ion positif akan terjadi gaya tolak menolak antara roll putar dengan mineral konduktor yang akhirnya jatuh ke bin. Tegangan yang dipakai 30.000 volt.

C. Faktor Yang Mempengaruhi Pemisahan
 Ada faktor yang mempengaruhi baik tidaknya pemisahan dengan electrostatic separator, yaitu :
1. Kuat Tegangan
Kuat tegangan berfungsi untuk membentuk medan korona, kemudian membombardemant partikel dengan muatan negatif. Apabila medan korona sudah terbentuk, maka kuat tegangan yang diperlukan sudah cukup. Pada tegangan yang tinggi akan mempengaruhi hasil pemisahan, karena partikel akan mencapai muatan maksimum dalam waktu singkat (kurang dari 1/50 detik).
Suatu partikel yang sudah mencapai muatan maksimum tidak lagi menerima muatan negatif, bahkan menolaknya. Muatan maksimum akan lebih besar untuk partikel konduktor dibandingkan dengan mineral non konduktor.
2. Kecepatan Putar Rotor
Kecepatan putar rotor mempunyai hubungan erat dengan gaya sentrifugal. Besar gaya sentrifugal kecepatan rotor, ukuran partikel, BJ dan diameter rotor dirumuskan sebagai berikut.
  
dimana :
d = diameter partikel
w = kecepatan sudut
R = jari-jari rotor
  = berat jenis partikel
              Semakin besar ukuran partikel, berat jenis dan diameter rotor sebaiknya menggunakan kecepatan putar rendah, agar didapat suatu gaya sentrifugal yang tidak terlalu besar dan dapat mengimbangi gaya tarik listrik yang semakin kecil pada ukuran butir yang kasar. Sehingga diharapkan partikel non konduktor tidak terlepas dari permukaan rotor. Sebaliknya apabila ukuran partikel halus, BJ kecil dan diameter rotor kecil, dapat menggunakan kecepatan puter rotor tinggi, karena gaya listrik semakin besar pada ukuran partikel kecil.
3. Laju Umpan (Feed Rate)
Laju umpan yang keluar dari hopper perlu diatur sedemikian rupa supaya menyebar sepanjang permukaan rotor. Tebal umpan diusahakan supaya terdiri dari satu lapis dan tidak berjejal-jejal.
4. Posisi Pembagi (Splitter)
Posisi pembagi tidak berpengaruh pada fenomena utama yang terjadi dalam electrostatic separator, tetapi dapat mempengarhi kadar dan perolehan produk. Posisi pembagi perlu pada setiap percobaan dan tergantung pada kecepatan putar rotor, diameter rotor dan ukuran butir.
Apabila diinginkan mineral konduktor kadar tinggi, posisi pembagi supaya diatur mendekati rotor, tetapi biasanya perolehan menjadi rendah. Sebaliknya apabila diinginkan perolehan tinggi, maka posisi pembagi dicondongkan menjauhi rotor, namum kadarnya rendah.
5. Pengaruh Kelembaban
Pengaruh kelembaban udara mempunyai hubungan erat dengan sifat permukaan mineral. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kelembaban relatif udara, maka partikel akan mempunyai sifat konduktivitas yang tinggi. Dari hasil percobaan pemisahan antara hematit dengan kuarsa, menunjukkan bahwa kelembaban relatif lebih rendah dari 35%, dapat dipisahkan pada temperatur 20oC. Kelembaban relatif 60%, temperatur bijih yang diperlukan 40oC dan kelembaban relatif 90% temperatur bijih yang diperlukan 90oC.
Pengaruh kelembaban lebih jauh dituliskan oleh Kakovsky, digolongkan menjadi :
a. Partikel yang mempunyai konduktivitas besar dalam kelembaban rendah dan perbedaan konduktivitas kecil dalam kelembaban tinggi, dapat dilakukan pemisahan dengan melakukan pemanasan pada temperatur 110oC – 115oC.
b. Partikel yang mempunyai perbedaan konduktivitas besar dengan kelembaban tinggi maupun rendah, paling mudah untuk dipisahkan.
c. Partikel yang mempunyai perbedaan konduktivitas rendah dengan kelambaban tinggi maupun rendah, paling sulit dipisahkan.
6. Keadaan Material.
a. Gaya Berat
 Gaya berat berbanding lurus dengan BJ dan ukuran partikel> Menurut coppo ukuran partikel yang dapat dikerjakan dengan pemisah tegangan tinggi adala 60 – 200 mesh untuk material bulat. Untuk yang berbentuk kasar masih dapat dipisahkan jika mempunyai perbedaan konduktivitas besar.
b. Derajat Liberasi
 Mineral yang belum terliberasi sempurna akan mempunyai sifat fisik yang berbeda, tergantung pada jenis pengotor. Sebagai contoh ; mineral senotim bersifat konduktor, tetapi bila ada limonit yang menempel maka mineral senotim tersebut akan mudah menghantarkan listrik sehingga dapat dijumpai sebagai mineralkonduktor.

D. Pengelompokan Mineral
 Mineral non konduktor terdiri dari :
- Siderit - Apatit - Garnet
- Hornblende - Gypsum - Olivin
- Biotit - Corundum - Zircon
- Barit - Zenolit - Tormalin
- Anhydrit - Muscovit - Fluorit

 Mineral konduktor terdiri dari :
Magnetit Ilmenit Wolframit
Hematit Tembaga Kromit
Emas Covelit Grafit
Galena Kassiterit Franklinit

BAB vi Pengolahan Bahan Galian

BAB VI
MAGNETIC SEPARATION




            Magnetic Separation adalah adalah suatu cara pemisahan mineral atau bijih yang mendasarkan pada sifat kemagnetannya. Hal ini dapat dilakukan karena bijih yang terdapat di alam mempunyai sifat kemagnetan yang berbeda-beda antara bijih yang satu dengan yang lain. Ada yang sifat kemagnetannya tinggi (ferromagnetic), lemah (paramagnetic) dan non magnetic (diamagnetic).

1. Diamagnetic
             Merupakan sifat mineral yang ditolak sepanjang garis gaya magnet, jika mineral tersebut dalam medan magnet. Hal ini disebabkan karena mineral tersebut sukar menyesuaikan medan magnet sekitarnya, karena sifat kemagnetanya berubah-ubah.
Contoh bijih antara lain ; garnet, pyrit, kuarsa, kalsit, cassiterite (non magnetic)
2. Paramagnetic
             Merupakan sifat mineral yang tertarik sepanjang garis gaya magnet, jika mineral tersebut berada dalam medan magnet. Hal ini disebabkan karena sifat kemagnetannya mudah menyesuaikan dengan keadaan medan magnet sekitarnya.
Contoh bijih antara lain ; siderit, hematit, pyrhotit, limonit (weakly magnetic)
3. Ferromagnetic
               Sama dengan paramagnetic hanya saja lebih kuat bila dibandingkan dengan paramagnetic.
Contoh bijih antara lain ; magnetit, ilmenit, franklinite (strongly magnetic).

            Medan magnet suatu magnet merupakan suatu ruangan yang mengitari magnet yang masih dipengaruhi oleh magnet itu sendiri. Medan magnet digambarkan oleh garis gaya magnet, sedangkan besarnya gaya tarik menarik maupun gaya tolak menolak yang ditimbulkan oleh kutub-kutubnya, menurut hokum coulomb sebesar :
  
dimana :
F = gaya tolak menolak atau gaya tarik menarik
m1,2 = kekuatan kedua kutub magnet
d = jarak antara kedua kutub
  = magnetic permeability 

          Apabila suatu mineral diletakkan dalam medan magnet (H), maka benda tersebut akan menjalani induksi magnet (B) sebesar :
 B = H + M
         dimana M adalah magnetisasi suatu bahan yang dinyatakan dalam Tesla( besarnya dalam ruang hampa = 0).
Suatu medan magnet dapat dinyatakan dalam Magetic Flux Density dengan satuan tesla, dimana dan 1 tesla = 104 gauss.
 Perbandingan antara magnetisasi suatu bahan (M) dengan intensitas medan magnet (H) disebut Manetic Susceptibility (K).
 Mineral magnetik dapat tertarik oleh salah satu kutub magnet yang bekerja pada mineral tersebut. Gaya magnet tersebut tergantung dari besarnya intensitas medan magnet dan gradient medan magnetnya. Untuk membangkitkan intensitas medan magnet dan gradien medan magnet dalam alat magnetic separator digunakan berbagai macam cara.
 Gaya-gaya yang bekerja dalam magnetic separator adalah :
- gaya magnet
- gaya hambatan yang terdiri dari gaya gravitasi, gaya hambatan hidrodinamis, gaya gesek, gaya momen/gaya sentrifugal.

A. Mekanisme Pemisahan
 Ada beberapa macam mekanisme pemisahan dengan mengunakan magnetic separator, yaitu :
1. Horisontal 
Pada sistem ini letak kutub magnet dibuat mendatar, sedang umpan dijatuhkan melalui garis-garis gaya medan magnet yang posisinya horisontal. Maka mineral yang bersifat magnetik akan tertarik kearah kutub positif (yang dibuat runcing agar lebih memusat dan kuat), sedangkan mineral non magnetik akan jatuh lurus ke bawah. 
2. Vertikal
Pemisahan secara vertikal maka kutub magnet juga diposisikan vertikal, dimana kutub positif terletak di atas, sedangkan yang negatif terletak di bawah. Di antara kedua kutub tersebut diletakkan dua buah belt conveyor yang saling bersilangan.
Umpan diletakkan pada belt bagian bawah, ketika melalui medan magnet akan terjadi pemisahan antara mineral magnetik dan non magnetik. Mineral magnetik akan menuju belt conveyor atas dan setelah keluar dari pengaruh medan magnet akan dilepas dan ditampung dalam bak mineral magnetik. Sedangkan mineral non magnetik akan ikut terus dengan belt conveyor bawah dan ditampung dalam bak mineral non magnetik.
3. Drum Magnetic
             Pemisahan cara ini digunakan untuk material yang mempunyai sifat kemagnetan tinggi.
Ada beberapa tipe pemisahan, diantaranya :
a. Belt conveyor dengan pulley yang diberi magnet, sehingga apabila ada material yang                                mengandung magnet akan tertarik kearah pulley (menempel pada belt conveyor) dan akan terlepas setelah pengaruh kemagnetan tidak ada. Sedangkan mineral non magnetik akan terlempar dari belt conveyor karena gaya sentrifugal dan ditampung sebagai mineral non magnetik.
b. Suatu drom yang diputar pada porosnya biasanya terbuat dari alumunium, bagian dalamnya dipasang medan magnet tetap menyudut 120o. Magnet ini tidak ikut berputar, maka antara mineral magnetik dan non magnetik dapat dipisahkan.
4. Roll Induksi
Suatu roll yang berputar terletak antara dua kutub positif dan negative dari primary electromagnet, sehingga roll tersebut dipengaruh ioleh medan magnet. Apabila dimasukkan mineral diantara roll dengan kutub positif maka mineral magnetic akan dapat dipisahkan dengan non magnetic.

B. Macam Magnetic Separator
 Secara umum magnetic separator dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :
1. Primary Magnet Type
Dalam Primary Magnet Type ini magnet yang digunakan adalah magnet langsung yang dipasang pada alat tersebut. Yang termasuk dalam jenis ini adalah :
a. Magnetic Pulleys
 Mineral non magnetic akan terjatuh karena tidak tertarik oleh magnet pada separator dan karena gaya gravitasinya sendiri. Sementara mineral magnetic akan terus menempel pada belt conveyor sampai pada suatu titik saat gaya magnet sudah tidak menjangkau lagi dan akhirnya akan jatuh ditempat yang sudah tersedia.
b. Drum Type Magnetic Separator
 Alat ini dipergunakan untuk mineral yang mempunyai sifat kemagnetan yang kuat. Terdiri dari drum yang pada bagian dalamnya ditempatkan magnet tetap (stasioner), luas magnet pada drum ini lebih kurang sepertiga bagian dari kelilingnya.
 Material yang menempel adalah yang bersifat magnetik kuat dan yang non magnetik akan jatuh karena gaya gravitasinya. Drum yang digunakan tidak hanya satu saja, jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Drum-drum tersebut diberi magnet drngan kekuatan yang tidak sama besar, dari yang kekuatan besar terus mengecil. Hal ini dimaksudkan agar material yang tertarik benar-benar mineral magnetic.
 Alat yang termasuk drum type adalah Ball Norton Drum Separator
c. Belt Magnetic Separator
 Alat ini dipergunakan untuk material yang gaya kemagnetanya lemah dengan proses kering sedangkan yang gaya kemagnetannya kuat dengan proses basah. Contoh dari alat ini adalah Wetherill Rowans Cross-Belt.

2. Secondary/Induksi Magnet Type
 Alat ini terdiridari kumparan kawat (coil) yang diberi arus listrik sehingga menimbulkan gaya-gaya magnet, yang selanjutnya menimbulkan juga medan magnett. Medan magnet ini yang menginduksi rotor sehingga rotor tersebut bersifat magnetik. Alat ini digolongkan dalam induksi magnet separator/secondary magnet separator type. Contohnya Dings Incuded-roll Separator.

 Syarat yang harus dipenuhi pada Magnetic Separator adalah :
1. Alat harus menimbulkan medan magnet yang mengumpul (konvergen) sehingga kekuatan positif (+) besar.
2. Intensitas medan magnet harus dapat siatur dengan mudah.
3. Material umpan dalam medan magnet harus merata.
4. Ada peralatan yang dapat memisahkan mineral magnetik dan non magnetik.
5. Kecepatan bergerak material dalam medan magnet harus dapat dikendalikan.
6. Terdapat alat penampung middling.
7. Peralatan tidak banyak bergerak karena dapat mempengaruhi medan magnet.
 Hal terpenting dalam pemisahan adalah partikel harus terliberasi sempurna dan celah antara magnet dengan material tidak boleh terlalu jauh karena mempangaruhi gaya tarik magnet dan gaya gesek.
 Kapasitas magnetic separator tergantung pada ukuran butir, kekuatan magnet. kecepatan feeding dan kecepatan putar rotor.
  Kemiringan dari kurva magnetisasi merupakan magnetic susceptibility :
 
           magnetic susceptibility bernilai positif dan berupa garis lurus, konstan negative untuk diamagnetic ( atau hampir lurus ) dan bervariasi untuk ferromagnetic tergantung pada medan magnet dan induksi magnet.
Apabila material ferromagnet berada dalam medan magnet, maka momen dipole dari material ferromagnet akan berubah apabila telah mencapai taraf jenuh magnet. Apabila medan magnet tersebut dipindahkan, maka momen dipole magnet akan berkurang akan tetapi tidak mencapai nol. Seperti proses induksi magnet yang dikenakan pada sekumparan kawat yang prosesnya merupakan proses tidak reversible. Proses ini disebut dengan akan berubah apabila telah mencapai taraf jenuh magnet. Apabila medan magnet tersebut dipindahkan, maka momen dipole magnet akan berkurang akan tetapi tidak mencapai nol. Seperti proses induksi magnet yang dikenakan pada sekumparan kawat yang prosesnya merupakan proses tidak reversible. Proses ini disebut dengan hysteresis. Sebelum membahas peralatan yang digunakan pada percobaan ini maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai gaya magnetic dan perumusan matematisnya.

Gaya-Gaya yang Bekerja Pada Pemisahan Magnetik (Magnetik Separation)
a. Gaya Magnetik
 Gaya magnetik pada partikel kecil dalam percobaan tekadang sulit untuk dianalisis. Fenomena ini dapat dibayangkan sebagai titik dipole magnet dikelilingi oleh massa partikel. 
 
( momen magnet dari partikel dengan volume V)
 Induksi magnet pada pusat massa partikel.
Dimana magnetisasi adalah . dan adalah suseptibilitas dari magnet dan medium (dilambangkan dengan subscript m ). 
  
Dari persamaan ini, gaya magnetic dari suatu partikel bergantung dari kuat medan magnet yang diberikan dan gradien medan magnet yang diinduksikan. Kuat medan magnet dan besarnya gradient induksi ini dapat diaplikasikan dalam partikel di semua alat pemisahan magnetic, dan menghasilkan berbagai variasi nilai dan geometri. Bentuk matrik medan magnet dapat berbagai macam seperti bentuk sphere dan silinder .

b. Competing Force ( Gravitasi, Sentrifugal, Friksi ( Gaya Inersia ) )
 
( = densitas medium fluida yang digunakan )
( g = percepatan graviasi )
Dalam aliran laminar, gaya gesek partikel dengan fluida (hydrodynamic drag force) sesuai dengan Hukum Stoke :
  ( = kecepatan dari partikel relative terhadap fluida, = viskositas dari medium ( fluida ) )
         Gaya gravitasi seperti terlihat di atas bergantung kepada pangkat 3 diameter, dan gaya gesek partikel bergantung pada pangkat 1 diameter partikel. Untuk alat pemisah kering ( dry magnetic separator ) yang memisahkan partikel relative besar, maka gaya magnetic harus cukup untuk menahan partikel terhadap competing force gravitasi. Dalam pemisah basah ( wet magnetic separator ) dari partikel kecil, gaya magnetic harus lebh besar dari gaya gesek partikel.
 
Electrostatic Separator
Mekanisme elektrostatik separator menyaratkan ada tiga tahap yang harus dilalui yaitu proses charging dari partikel, pemisahan yang terjadi pada permukaan tanah, dan pemisahan partikel melalui lubang sempit. 
 Mekanisme pengeluaran partikel :


1. Mengontakkan partikel yang berbeda
             Ketika permukaan dari dua pertikel yang berbeda didekatkan dan disentuhkan dan kemudian dipisahkan, partikel yang satu menjadi positif dan yang lainnya menjadi negative. Daerah kontak antara partikel ini cukup kecil, oleh karena itu untuk membangun daerah charge partikel yang akan dipisahkan, proses charge ( pengisian muatan ) memerlukan kontak beberapa kali. Hal ini terutama terjadi apabila ada pergerakan bulk, apabila partikel memiliki sifat isolator maka densitas dari permukaan charge dapat menjadi basis bagi proses konsentrasi.
Teori mengenai mekanisme ini sangatlah komplek, akan tetapi proses perpindahan muatan ini terjadi karena transfer electron, meskipun pada beberapa system hal ini terjadi karena adanya perpindahan ion.
2. Charging Oleh Ion Bombardment
           Ion atau electron bombardment melalui udara adalah lebih kurang seperti proses konduktivitas listrik melaui media udara. Gas berbeda dari liquid dan padatan dalam hal proses menghantarkan listrik. Logam, baik itu berada dalam fasa liquid dan padatan, seperti logam oksida dan silikat, dan didalam larutan aqueous, muatan listrik dihantarkan oleh ion. Akan tetapi dalam gas terutama dalam kondisi netral, molekul gas yang terpisah bertindak sebagai material insulator baik. 
3. Charging oleh Induksi
            Apabila partikel ditempatkan dalam konduktor yang digroundkan dalam keberadaan medan listrik, partikel secara cepat akan membentuk permukaan pengisian muatan oleh induksi. Baik konduktor maupun non konduktor terpolarisasi, akan tetapi partikel konduktor memiliki permukaan equipotensial melalui kontak dengan konduktor yang digroundkan. Partikel non konduktor akan tetap terpolarisasi.
 
 
 
BAB V
GRAVITY CONCENTRATION



            "Gravitiy Concentration" adalah proses konsentrasi yang mendasarkan pada gaya gravitasi. Proses ini terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :
Mendasarkan pada aliran air horizontal
a. Shaking Table
b. Sluice Box
c. Humprey Spiral
Mendasarkanpada aliran air vertikal
a. Jigging
Mendasarkan pada berat jenis media
a. Heavy Liquid Separator
b. Heavy Media Separator

A. Mendasarkan Pada Aliran Air Horisontal
          Bila air dibawah kondisi laminer mengalir dalam bidang miring yang licin, maka distribusi kecepatan berbentuk parabol dan kecepatan pada dasar = nol, karena bergesekan dengan dasar, dengan bilangan reynold (Re) = 500.

              Apabila campuran mineral berat dan ringan dialirkan bersama-sama dengan air, maka susunan mineral dalam aliran tersebut adalah :
- mineral berat berukuran halus sampai kasar
- dilanjutkan mineral ringan halus sampai kasar
           Ada kemungkinan bahwa posisi mineral berat kasar jadi satu dengan mineral ringan halus.
Susunan ini disebabkan karena pengaruh kecepatan aliran dan gaya dorong air, sehingga mineral ringan dan kasar akan lebih besar mendapat gaya dorong air.
              Sebaiknya apabila campuran mineral berat dan ringan dijatuhkan dari atas ke sebuah aliran air, maka susunanya adalah sebagi berikut.
- mineral berat dan kasar akan terpental paling dekat dengan sumbernya
- mineral ringan dan halus akan paling jauh dari sumbernya
            Ada kemungkinan susunan mineral berat halus jadi satu dengan mineral ringan kasar.
Maka untuk menghindari hal tersebut terjadi atau agar terjadi pemisahan antara mineral berat dengan mineral ringan, maka ukuran campuran mineral tersebut disamakan dengan jalan pengayakan.

1. Shaking Table (meja goyang)
            Tabling adalah suatu proses konsentrasi untuk memisahkan antara mineral berharga dengan mineral tidak berharga, mendasarkan pada perbedaan berat jenis mineral melalui aliran fluida yang tipis. Oleh karena itu proses ini termasuk dalam Flowing Film Concentration. Alat yang digunakan adalah Shaking Table.
             Prinsip pemisahan dalam tabling ialah ukuran mineral harus halus karena proses konsentrasi ini mendasarkan pada aliran fluida tipis. Adanya gaya dorong air terhadap partikel yang sama besarnya tapi berbeda berat jenisnya, maka partikel yang ringan akan mengalami dorongan air yang lebih besar dari partikel berat. Dengan adanya gerakan maju mundur dari       ”head motion” maka partikel yang berat akan melaju lebih jauh dari partikel yang ringan sampai akhirnya partikel-partikel tersebut masuk ke tempat penampungan.
           Untuk mendapatkan aliran air yang turbulen maka dipasang alat yaitu ”riffle”, dengan demikian partikel yang ringan akan cenderung untuk meloncat dari riffle satu ke riffle lainnya dibanding partikel yang berat yang hanya akan menggelinding searah dengan riffle tersebut.
 Proses ini berjalan terus menerus sehingga antara mineral yang mempunyai berat jenis besar dengan yang ringan dapat terpisahkan.

Gaya-gaya yang bekerja dalam tabling adalah :

a. Gaya gesek antara partikel dengan dek (khusus partikel berat yang dominan)
b. Gaya dorong air (khusus partikel ringan lebih dominan)
c. Gaya gravitasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi produk, antara lain :

a. kemiringan dek
           Dek yang terlalu miring akan mempengaruhi kecepatan aliran air dan bila kecepatan aliran air tersebut terlalu cepat maka partikel ringan akan terbawa air semuanya sehingga yang tertinggal hanya mineral berat. Dengan begitu hasil yang didapatkan adalah produkta yang berkadar tinggi tetapi kapasitasnya sedikit. Untuk kemiringan yang kecil sehingga kecepatan aliran air lambat maka produkta yang didapat berkadar rendah dengan kapasitas besar. 
b. kecepatan feeding dan kemiringan
           Bila terlalu cepat pengumpananya dan kemiringan dek kecil, maka proses pemisahan akan berjalan kurang baik karena umpan tertumpuk dan akan masuk ke konsentrat. 
c. persen solid
            Bila terlalu encer pemisahan akan baik dan sebaliknya bila kental maka semua partikel akan masuk ke konsentrat.
d. jumlah dan panjang stroke
           Pengaruh terhadap proses pemisahan adalah stroke yang panjang untuk material kasar dan stroke kecil untuk material halus.
 Kelakuan partikel di dalam flowing film concentration dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a. kemiringan dek
b. viscositas fluida
c. koefisien gesek antara partikel dengan dek
d. ketebalan dari ”fluid film” atau kecepatan dari aliran fluida
e. bentuk partikel
f. berat jenis
g. kekerasan permukaan dek
           Pada dek yang horisontal, tidak akan ada gerakan dari partikel. Partikel akan mulai bergerak bila dek mempunyai kemiringan.

 Macam-macam meja goyang (shaking table) antara lain :

a. Wilfley Table
          Alat ini berbentuk empat persegi panjang dengan riffle dibuat mulai dari ukuran pendek hingga panjang. Faktor yang sering diubah adalah kemiringannya.
b. Butchart Table
           Bentuk head motion hamper sama dengan wilfle table tetapi berbeda pada rifflenya. Riffle pada alat ini membengkok kearah atas. Dengan riffle ini material dipaksa untuk naik pada bagian riffle yang membelok kea rah atas sebelum sampai ke tempat konsentrat.
c. Card Table
               Riffle berbentuk triangular yang agak kasar dan pembuatannya langsung pada dek tersebut
d. Deister Overstorm, Plat O Table
              Pada dasarnya perbedaan macam-macam meja goyang ini terletak dari head motion dan bentuk rifflenya.

 Kapasitas dari table dipengaruhi oleh :

a. Ukuran umpan
b. Operasi yang dikehendaki
c. Perbedaan berat jenis antara mineral yang dipisahkan
d. Berat jenis rata-rata dari mineral yang akan dipisahkan
 
Gambar Shaking Table

2. Sluice Box
            Prinsipnya adalah memisahkan antara mineralberharga dengan yang tidak berharga mendasarkan atas gaya beratnya. Alat ini berbentuk box atau kotak yang bagian dalamnya dilengkapi dengan riffle, yang gunanya untuk menahan material yang mempunyai berat jenis relatif besar dibandingkan dengan material lain sehingga mampu mengimbangi gaya dorong dari aliran air.
            Jadi yang mempengaruhi berhasil tidaknya dalam melakukan operasi pemisahan dengan alat ini adalah :
a. Kecepatan aliran dan ketebalan aliran fluida
            Bila kecepatan dan ketinggian fluida terlalu besar maka mineral yang ada baik itu mineral berat maupun ringan dan ketebalan yang besar dari fluida akan membuat arus turbulen yang besar dan ini yang membuat material meloncat dari riffle.
b. Berat jenis material yang akan dipisahkan
            Berat jenis dari material harus cukup besar karena material itu harus dapat mengimbangi derasnya arus dengan gaya berat sehingga material itu akan dapat terhalangi oleh riffle. Bila material itu mampunyai berat jenis yang kecil, akan hanyut terbawa oleh aliran air.
c. Banyaknya air/fluida
            Bila air yang digunakan untuk memisahkan mineral ini hanya sedikit, maka mineral tersebut tidak akan dapat terpisahkan atau hasilnya adalah heterogen
d. Ketinggian riffle
              Ketinggian riffle harus sebanding dwngan ketebalan aliran air, paling tidak harus melebihi +/- 0,5 cm dari permukaan riffle
e. Panjang box
                Panjang box sangat menentukan karena makin panjang akan semakin besar kemungkinan material itu untuk tersangkut pada roffle sehingga hasilnya semakin besar
 
 Dalam sluice box ini, macam riffle ada dua :
a. Riffle memanjang
b. Riffle melintang
 Tahap-tahap dalam sluicing adalah :
a. Pemasukan umpan
b. Pencucian
c. Pengambilan konsentrat
         Khusus untuk pengambilan konsentrat maka riffle diangkat atau dibuka lalu disemprot dengan air, maka material yang dikehendaki itu dapat diambil dari sluice box tersebut.

3. Humphrey Spiral
             Humphrey Spiral merupakan alat penetrasi pemisahan mineral berat dan mineral ringan yang berbentuk spiral yang menggunakan gaya sentrifugal dan air sebagai media konsentrasi. Metode pemisahan ini teramasuk kedalam “gravity consenteration”.
Prinsip kerja dari alat ini adalah umpan dimasukkan kedalam kotak penampung umpan. Kemudian dengan menggunakan pompa air, larutan umpan dipompa keatas spiral. Larutan umpan akan terlebih dahulu melewati Hydrocyclon. Pada Hydrocyclon umpan dipisahkan menjadi mineral berat dan mineral ringan. Mineral berat akan keluar dari Hydrocylon melalui pipa bagian bawah, sedangkan mineral ringan keluar dari pipa bagian atas.
             Umpan memasuki saluran spiral dalam bentuk campuran yang hampir homogen. Ketika larutan air beserta umpan mengalir mengelilingi jalur spiral, pemisahan terjadi pada bidang vertikal. Pemisahan biasanya terjadi sebagai hasil perpaduan dari Hindered Settling dan Interstitial Trickling. Gaya Bagnol juga memberikan kontribusi yang besar. Hasilnya adalah: partikel-partikel yang berat akan mengalir pada daerah dengan kecepatan rendah, pada sisi dalam dari bidang spiral, sedangkan partikel-partikel yang ringan akan mengalir pada daerah dengan kecepatan tinggi, pada sisi luar bidang spiral.
               Pada daerah berkecepatan rendah diletakkan splitter, yaitu lubang yang didesain dan berfungsi untuk menampung mineral berat atau dalam hal ini adalah mineral berharga. Konfigurasi dan letak (posisi) dari splitter dapat diatur sesuai dengan konsentrat yang akan dihasilkan.
Hasil akhir yang didapat pada pemisahan dengan menggunakan metode Humphrey spiral adalah konsentrat, midling dan tailing.

Gaya yang Bekerja
o Gaya gravitasi
o Gaya gesek
o Gaya Sentrifugal
o Gaya dorong air

Variabel Operasi
a. Jumlah lingkaran spiral f. Konfigurasi spiral
b. Tipe spiral g. Kecepatan aliran air
c. Diameter spiral h. Bentuk dan ukuran butir partikel
d. Permukaan spiral i. Perbedaan density partikel
e. Ketinggian alat j. Laju pengumpanan


               Proses pemisahan ini dapat terjadi karena partikel yang berat akan mendekati pusat spiral atau berada di bagian bawah, sedangkan partikel yang ringan dan halus akan naik. Hal ini terjadi karena adanya gaya-gaya yang telah disebut diatas.
             Dalam pemisahan ini plp harus tetap dipertahankan agar besarnya persen solid antara 20% - 30%. Kapasitas alat ini mencapai 1 – 2 ton/jam dengan umpan pada 25% - 50% solid dengan ukuran normal 20#.


B. Mendasarkan Pada Aliran Air Vertikal (Jigging)
               Jigging adalah proses pemisahan ineral yang berharga dengan mineral tidak berharga berdasarkan pada perbedaan berat jenis mineral tersebut dengan aliran fluida yang vertikal
 Dalam jigging terjadi stratifikasi atau perlapisan pada partikel yang akan dipisahkan. Hal ini terjadi karena partikel-partikel tersebut berbeda berat jenisnya.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi stratifikasi adalah :
1. Hindered Settling Classification
           Pada campuran material dengan cairan yang menjadi cairan crowded atau menjadi pulp, akan terjadi proses pengendapan material setelah mengalami halangan diantara partikel-partikel itu sendiri berdasarkan besar butir mineral. Untuk material dengan ukuran butir kecil tapi mempunyai berat jenis besar akan lebih dulu mengendap demikian juga untuk mineral besar dengan berat jenis besar juga akan mengendap lebih dulu dibandingkan dengan mineral berberat jenis ringan. Peristiwa ini terjadi pada saat jig mengalami pulsion sehingga ada aliran air ke atas yang akan membuat material tersebar atau terlempar ke arah atas. Material yang berat jenisnya kecil akan terlempar lebih jauh daripada mineral yang berat jenisnya besar.
           Jadi disini material yang mempunyai berat jenis besar tapi ukurannya kecil akan sama waktu mengendapnya dengan material yang besar tapi mempunyai berat jenis kecil, demikian juga sebaliknya.
2. Differential Acceleration
           Di dalam jigging partikel bergerak selama periode percepatan dan karena itu partikel berat akan mempunyai percepatan awal dan kecepatan jatuh lebih besar daripada partikel ringan.
3. Consolidation trickling
           Pada waktu akhir dari suction, partikel-partikel berukuran kecil tapi berat jenisnya besar akan mempunyai kesempatan untuk menerobos diantara partikel-partikel itu maupun kesempatan menerobos jog bed daripada mineral ringan dan kecil.

 Persyaratan untuk jig adalah harus ada :
1. Pengatur stroke
2. Pengatur underwater
3. Pengatur umpan/konsentrat
4. Screen dan raging disesuaikan

 Persyaratan untuk jig bed (ragging)
1. Mempunyai kecepatan mengendap antara mineral berat dan ringan
2. Tidak mudah hancur
3. Ukuran partikel jig bed harus lebih besar dari screen
4. Fluktuasi ukuran butir kecil

 Fungsi dari under water adalah :
1. Untuk mengeliminir ruangan yang vakum pada saat suction sehingga hisapan akibat suction agak berkurang
2. Menambah air

           Untuk memperkirakan apakah suatu mineral akan dapat dipisahkan dengan baik atau tidak dari mineral lainnya adalah dengan cara mengetahui criteria concentration.
  
dimana :
 dh = berat jenis mineral berat
 dl = berat jenis mineral ringan
 dm = berat jenis media pemisah
Jika harga CC :
- 2,50 = pemisahan dapat dilakukan untuk segala ukuran
- 1,75 = pemisahan hanya dapat dilakukan pada ukuran 65# - 100#
- 1,5 = pemisahan hanya dapat dilakukan pada ukuran 10#
- 1,00 = sulit dilakukan pemisahan



 Pembagian jig berdasarkan sieve atau screen :

1. Fixed Sieve Jig

a. Fix Sieve Plunge Jig
            Alat yang termasuk didalamnya adalah Harz jig. Penggerak alat ini adalah plungger yang bergerak naik turun sehingga menimbulkan suctiondan pulsion. Tempat konsentrat terletak di bagian bawah sedangkan dibagian atas tempat keluarnya tailing, ini semua terletak di bagian atas screen. Alat ini terbuat dari kayu atau beton, yang terdiri dari beberapa kompartemen yaitu konsentrat, middling dan tailing.
b. Fixed Sieve Air Pulsator Jig
             Contoh alat ini adalah Baum jig. Alat ini mempunyai fixed sieve (a) yang dilalui air yang terdorong karena tekanan udara. Secara mekanis tekanan udara dikontrol oleh valve (b) menuju closed chamber (c) dan selanjutnya ke ruang bawah kompartemen sieve. Perubahan kecepatan tekanan udara pada closed chamber dikendalikan oleh perangkat mekanisme valve. Screen pengeluaran dari depan yang digerakkan aleh mekanisme float (d). Material ringan dikeluarkan melalui bagian atas. Alat ini digunakan dalam pencucian batubara.
c. Fixed Sieve Diaphragma Jig
              Alat yang termasuk jenis ini adalah Bendelari jig. Gerakan pulsiondan suction dehasilkan dari diaphragma yang terbuat dari karet. Diaphragma mengembang dan mengempis sehingga menimbulkan gerakan ke atas. Diaphragma terletak pada bagian dalam dari alat tersebut yang digerakkan oleh torak yang naik turun karena dihubungkan dengan eksentrik. Under water disalurkan pada bagian bawah saringan melalui sebuag klep pada saat diaphragma bergerak turun.
d. Fixed Sieve Pulsator Jig

2. Movable Sieve Jig
                Yang termasuk movable jig adalah hancock jig. Alat ini berupa tangki yang berbentuk rectangular atau kotak persegi panjang dengan sieve yang bergerak dan dijalankan secara mekanik. Gerakan dari sieve tidak hanya naik turun tapi juga ke depan belakang dengan percepatan yang besar. Konsentrat dikumpulkan pada hutch dari kompartemen terakhir. Kapasitas sangat besar, dari 300 – 600 ton per hari dengan mesin ukuran panjang 25 ft dan lebar 4 ft.

C. Mendasarkan Pada Berat Jenis Media
               Dense media separation adalah pemisahan material satu dengan lainnya mendasarkan atas cairan media yang berat dan umumnya tidak bereaksi langsung dengan material yang akan dipisahkan.
 Ada tiga macam medium yang digunakan, yaitu :
- larutan garam dan air
- organic liquid
- suspensi antara solid dan air
 Proses pemisahannya berdasarkan sink (tenggelam) dan float (mengapung)
 Tempat pemisah (alat yang digunakan) adalah :
- drum separator
- huntington heberlein sink-float
- wemco cone separator
Dense Media Separation ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

1. Heavy Liquid Separation (HLS)
               Adalah suatu cara pemisahan yang mendasarkan pada perbedaan berat jenis mineral dengan menggunakan media pemisah suatu liquid yang biasanya merupakan cairan organik.
 Cairan yang sering digunakan adalah :
- Tetra Bromethane (C2H2Br4 – SG = 2,96)
- Ethylene Dibromide (C2H4Br2 – SG = 2,17)
- Penta Chlorethane (C2HCl5 – SG = 1,68)
- Trichlorethylene (C2HCl3 – SG = 1,46)
- Calcium Chloride (CaCl2 – SG = 1,55)
Keuntungan HLS adalah :
a. Peralatan yang dibutuhkan relative kecil
b. Specific gravity dapat diperhitungkan secara tepat
   
c. Cairan dapatmudah dipisahkan dari produkta jika percobaan telah selesai
d. Percobaan dengan menggunakan HLS akan menghasilkan produkta yang optimum
Kerugian HLS adalah biaya pengolahannya relatif mahal.

 Industri yang menggunakan HLS dalam produksinya adalah :

a. Lessing Process
            Merupakan proses untuk memisahkan batubara dari pengotornya. Sebagai medium pemisahnya adalah CaCl2. Biasanya batubara yang dipisahkan dengan proses ini berukuran 60#. Hasilnya merupakan batubara yang bersih dan ringan. Pemisahannya menggunakan elevator.
b. Bertrand Process
            Dalam proses ini cairan yang digunakan juga CaCl2. Untuk mengurangi pemakaian dari medium ini maka dilakukan dengan cara counter washing system, yaitu dengan jalan menyemprotkan cairan dengan spesific gravity dari media yang bertahap, misalnya : 1,05; 1,08; 1,25; 1,40 dan seterusnya ke dalam batubara yang dimasukkan ke dalam meja goyang.
 Maksud disemprotkannya dengan specific gravity yang berurutan adalah bila material langsung disemprotkan dengan cairan SG = 1,40 maka material akan menyerap cairan berat ini dan lainnya akan lebih kecil dari 1,40. Padahal cairan dengan SG ini mahal harganya, lebih mahal daripada cairan dengan SG = 1,05 sehingga proses ini akan memakan biaya tinggi. Sekarang ini cara HLS sudah tidak banyak lagi dipakai, hanya digunakan untuk pengujian di laboratorium.
c. Du Pont Process
             Pada proses ini biasanya material tidak langsung dilakukan pemisahan dengan cairan, tetapi dikerjakan dulu pada suatu tempat yang mempunyai cairan dengan SG yang rendah. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penyerapan.

 Syarat yang harus dipenuhi adalah :

i. Bijih harus dilakukan preparasi agar tidak ada yang berukuran halus
ii. Digunakan parting liquid, harus mempunyai kelarutan yang rendah terhadap air
iii. Viscositas rendah
iv. Diharapkan mempunyai tekanan uap yang rendah, stabil dan tidak mudah terbakar
v. Tempat pemisahan harus tertutup untuk menghindari penguapan karena parting liquid ada yang beracun
vi. Diharapkan ada sirkulasi dari parting liquid
 Yang dipakai untuk parting liquid antara lain ; starch asetate 0,01% dan tannic acid

2. Heavy Media Separation (HMS)
                Di dalam HMS ini umpan harus diayak terlebih dahulu untuk menghilangkan bijih yang berukuran kecil dan juga menggunakan pencucian. Butir halus diayak dan slime dicuci karena partikel yang halus akan menambah kekentalan dari medium. Selain itu suspensi yang digunakan harus dapat disirkulasikan kembali.
 Suspensi ini terdiri dari :
a. Campuran antara magnetit dan air
b. Ferro silicon SG = 6,7 – 6,9
c. Galena SG = 7 dengan air
 Mekanisme HMS :
a. Oversize 10# masuk ke dalam cone yang berisi media dengan SG tertentu
b. Pada cone terjadi pemisahan (sink and float). Secara terpisah Float dan Sink dipompakan ke drainage screen
c. Material tercuci maupun material gangue disemprot dengan air agar material itu terbebas dari media
d. Air dan media diproses kembali untuk mendapatkan SG tertentu dengan memasukkannya ke dalam cone
e. Media yang lolos saringan dikembalikan lagi ke cone.